bosanbosanlayan

menegakkan islam adalah tanggungjawap bersama


Leave a comment

Mengapa al-Quran Berbahasa Arab?

Tidak salah jika kita awali dengan menelusuri latar belakang pertanyaan ini.
Kita bisa menangkap, ada dua kemungkinan latar belakang ketika orang mempertanyakan, mengapa Allah menurunkan al-Quran dengan bahasa arab?
Dua kemungkinan itu bisa jadi terpuji, atau sebaliknya, bisa jadi sangat tercela.
Dan itu bukan hal yang aneh. Terkadang ada satu perbuatan yang memiliki nilai berkebalikan, kembali kepada niat pelakunya. Sebagai contoh, mengambil barang temuan.
Jika dia mengambil untuk dikembalikan ke pemiliknya, statusnya al-amin (orang yang amanah). Sehingga ketika barang ini rusak di luar keteledorannya, dia tidak wajib ganti rugi.
Sebaliknya, ketika dia mengambil dengan tujuan untuk memilikinya, statusnya al-Ghasib (orang yang merampas). Dia berdosa dan jika barang ini rusak di tangannya, wajib ganti rugi.

Kita kembali kepada pertanyaan di atas.
Ada dua kemungkinan yang melatar belakangi pertanyaan ini,
Pertama, dalam rangka mempertanyakan dan ‘menggugat’, mengapa Allah memilih bahasa arab untuk al-Quran. Apa istimewanya orang arab, sampai bahasanya digunakan untuk al-Quran?
Kedua, dalam rangka menggali hikmah, mengapa Allah memilih bahasa arab untuk kitab terakhirnya. Sehingga dengan memahami ini, kita akan semakin cinta dengan bahasa arab yang menjadi bahasa al-Quran. Dan tentu saja, ini tujuan mulia. Menggali hikmah yang bisa dijangkau manusia, agar semakin cinta dengan Dzat Yang Maha Hikmah.

Menggugat Entitas Bahasa Arab

Bagi sebagian orang yang sentimen dengan semua yang berbau ‘arab’, keberadaan al-Quran yang berbahasa arab, menjadi masalah besar baginya. Bahkan bahasa arab, dijadikan celah untuk menggugat keotentikan al-Quran.
Terutama kelompok liberal yang selalu menjadi masalah di masyarakat. Mereka melakukan upaya yang dikenal dengan desakralisasi al-Quran. Propaganda untuk meragukan kesucian al-Quran.
Salah satunya, sebuah tesis yang diterbitkan UIN suka 2004, yang berjudul Menggugat Otentisitas (keotentikan) Wahyu Tuhan. Penulis dengan terang-terangan menolak kesucian al-Quran.
Di tahun 2011, penulis menerbitkan buku dengan judul,
Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Di buku inilah, penulis dengan terang-terangan menegaskan bahwa al-Quran yang ada di tangan kaum muslimin, sudah tidak lagi otentik. Alasan utamanya, karena al-Quran berbahasa arab.
Kita bisa simak kutipan pernyataannya,
“Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan. Al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan. Dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi Al-Quran dan Mushaf Usmani. (hlm.vii).

Dia juga menulisakan,
”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab, memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab.” (hlm. viii)

Dengan membaca sekali, siapapun akan menilai bahwa sejatinya orang ini telah menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta. Karena ada 50% pesan wahyu yang hilang, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Quran kepada para sahabat.
Padahal Allah telah menegaskan di surat an-Najm,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ( ) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

Muhammad tidaklah berbicara berdasarkan hawa nafsunya. Semua itu adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3 – 4)

Mereka juga menuduh sahabat Utsman, yang menyatukan al-Quran dengan bahasa Quraisy. Hingga mereka menganggap bahwa al-Quran adalah alat untuk mewujudkan hegemoni Quraisy bagi dunia. Dalam salah satu jurnal yang diterbitkan IAIN semarang th. 2003, di pengantar redaksinya ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Sebenarnya tidak jauh jika kita menyebut mereka telah mendustakan firman Allah, yang menyatakan bahwa Allah menjaga al-Quran yang Dia turunkan,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Akulah yang menurunkan al-Qur’an dan Aku sendiri yang akan menjaganya.” (QS. al-Hijr: 9).

Dan bagi kita tidak Aneh, ketika pemikiran nyeleneh semacam ini muncul di universitas yang merupakan kantong liberal.

Barangkali akan sangat memeras tenaga jika kita harus mencurahkan banyak pikiran untuk membantahnya. Siapapun anda, bisa membantahnya dengan logika yang sangat sederhana.
Kita semua mengakui, ketika al-Quran diturunkan, tentu ada banyak bahasa yang digunakan manusia. Ada bahasa arab, ada bahasa persi, bahasa romawi, di belahan timur ada bahasa cina, dst.
Satu pertanyaan, dengan bahasa yang mana, yang seharusnya digunakan al-Quran, agar kitab ini sesuai dengan selera penggemar liberal yang anti bahasa arab?
Berdasarkan prinsip di atas, apapun bahasa yang digunakan al-Quran, tidak akan lepas dari kritikan para liberal itu. Karena pada dasarnya, inti dari kritikan itu bukan di bahasanya, tapi karena ini kebenaran. Dan mereka dihadirkan, untuk memerangi kebenaran.

Hikmah al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab

Selanjutnya kita akan membahas pertanyaan kedua, apa hikmah, Allah menurunkan al-Quran berbahasa arab? Berangkat dari sini, kita akan menggali sisi keistimewaan bahasa arab, sehingga Allah memilihnya sebagai bahasa al-Quran.
Sebelum melihat sisi keistimewaan bahasa arab, satu hal penting yang perlu kita tanamkan, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini dan Allah yang paling berhak untuk memilih siapa diantara makhluknya yang memiliki keunggulan melebihi yang lain. Ada milayaran manusia. Tentu saja, derajat mereka tidak sama. Allah berhak memilih, siapa diantara mereka yang berhak menjadi nabi dan rasul.
Ada ribuan bahasa di alam ini. dan Allah berhak memilih bahasa mana yang paling layak untuk kitab-Nya.
Kita yang hanya berposisi sebagai hamba, hanya bisa menerima, dan saja sama sekali tidak berhak mengkritik.
Semacam ini Allah ajarkan dalam firman-Nya,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

Tuhanmu menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan Dia memilih (sesuai yang Dia kehendaki). Mereka tidak bisa menentukan pilihan.” (QS. al-Qashas: 68)

Karena itu, alur berfikir yang benar terkait realita al-Quran, bukan bertanya, apa kelebihan bahasa arab, sehingga Allah memilihnya untuk bahasa al-Quran. Akan tetapi, cara berfikir yang tepat, bahwa dengan Allah memilih bahasa arab sebagai bahasa al-Quran, itu sudah sangat cukup untuk menjadi dasar yang menunjukkan bahasa arab memiliki banyak kelebihan.

Kelebihan Bahasa Arab

Allah menyebut bahasa arab dengan bahasa yang al-Mubin, yang artinya bahasa yang bisa menjelaskan.
Allah berfirman,

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

“Al-Quran itu turun dengan bahasa arab yang mubin.” (QS. as-Syu’ara: 195).

Ibnu Faris (w. 395) – salah satu ulama bahasa – menyatakan,

فلما خَصَّ – جل ثناؤه – اللسانَ العربيَّ بالبيانِ، عُلِمَ أن سائر اللغات قاصرةٌ عنه، وواقعة دونه

Ketika Allah Ta’ala memilih bahasa arab untuk menjelaskan (firman-Nya), menunjukkan bahwa bahasa-basaha yang lainnya, kemampuan dan tingkatannya di bawah bahasa arab. (as-Shahibi fi Fiqh al-Lughah, 1/4).

Diantara sisi penunjangnya, bahasa arab merupakan bahasa yang sangat tua dan terjaga. Dan semakin tua sebuah bahasa, akan semakin kaya dengan kosakata, semakin sempurna gramatikalnya dan banyak simbol-simbol makna.
As-Suyuthi memuji kekayaan linguistik dalam bahasa arab

لأنَّا لو احتجنا إلى أنْ نعبر عن السيفِ وأوصافه باللغةِ الفارسية، لما أمكننا ذلك إلا باسمٍ واحد؛ ونحن نذكرُ للسيفِ بالعربية صفاتٍ كثيرة، وكذلك الأسد والفرس وغيرهما من الأشياءِ المسميات بالأسماء المترادفة، فأين هذا من ذاك؟! وأين سائرُ اللغات من السَّعةِ ما للغةِ العرب؟! هذا ما لا خفاءَ به على ذي نُهية

Ketika kita hendak mengungkapkan kata pedang dengan bahasa persi, kita tidak akan bisa menceritakannya kecuali hanya dengan satu kata. Sementara kita bisa menyebut kata ‘pedang’ berikut sifat-sifatnya dengan banyak ungkapan dalam bahasa arab. Demikian pula kata ‘singa’ dan ‘kuda’ atau kata lainnya yang memiliki banyak sinonim. Sehingga bagaimana mungkin dua bahasa ini mau dibandingkan?! Bahasa mana yang lebih luas dari pada bahasa arab ?! semua orang yang berilmu mengetahuinya. (al-Mazhar fi Ulum al-Lughah, 1/254).

Syiar Islam dan Kunci Memahami Syariat

Mengingat Al-Quran berbahasa arab, hadis berbahasa arab, khazanah islam yang menjadi kara para ulama, berbahasa arab, maka bahasa arab menjadi kunci untuk memahami itu semua. Karena itulah, para sahabat menekankan agar umat islam berusaha memahami bahasa arab.
Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan,

تعلَّموا العربيةَ؛ فإنها من دينِكم

Pelajarilah bahasa arab, karena bahasa ini bagian dari agama kalian.” (Idhah al-Waqf, Ibnul Anbari, 1/31)

Umar juga pernah memerintahkan gubernurnya, Abu Musa al-Asy’ari untuk mengajarkan bahasa arab kepada penduduk Iraq,

أمَّا بعد، فتفقهوا في السنةِ، وتفقهوا في العربية، وأَعْرِبُوا القرآنَ فإنه عربي

“Pelajarilah sunah dan pelajarilah bahasa arab. Pahami al-Quran dengan bahasa arab. Karena kitab ini berbahasa arab.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 30534).

Ada jutaan karya ulama yang semuanya berbahasa arab dan belum diterjemahkan. Tidak mungkin anda menunggu terjemahannya untuk bisa anda baca. Bahkan ribuan kitab itu, tidak mungkin diterjemahkan. Karena karya semacam ini, bukan konsumsi mereka yang tidak paham bahasa arab.
Syaikhul Islam menjelaskan,

إنَّ الله لما أنزل كتابَه باللسان العربي، وجعل رسولَه مبلغًا عنه الكتاب والحكمة بلسانه العربي، وجعل السَّابقين إلى هذا الدين متكلِّمين به، ولم يكن سبيل إلى ضبط الدِّينِ ومعرفته إلا بضبط هذا اللسان، صارت معرفته من الدِّين، وأقرب إلى إقامةِ شعائر الدين…

Allah Ta’ala menurunkan kitabnya berbahasa arab. Allah menunjuk Rasul-Nya untuk menyampaikan al-Quran dan sunah juga berbahasa arab. Allah juga menunjuk para sahabat yang pertama masuk islam, mereka berbicara dengan bahasa arab. Sementara tidak ada cara untuk memahami agama ini dengan benar, selain dengan memahami bahasa arab. Untuk itu, mempelajari bahasa arab, bagian dari mengamalkan ajaran agama, dan jalan paling dekat untuk menegakkan syiar agama… (al-Iqtidha, 1/450).

Tidak Paham Bahasa Arab, Sebab Kesesatan

Ribuan aliran sesat, salah satu sebabnya, mereka menafsirkan al-Quran dan sunah, tanpa didukung kaidah bahasa yang benar. Ahmadiyah meyakini adanya nabi palsu, karena mereka memahami kata ‘Khatam an-nabiyin’ dengan cincin para nabi, dan bukan penghujung para nabi. Ldii menilai sesat selain anggota kelompoknya, karena kata muttashil dalam periwayatan hadis, dibawa pada pembelajaran dan dakwah, yang itu tidak pada tempatnya. Mu’tazilah dan kelompok penerusnya menolak hadis ahad, karena salah paham dengan kata ‘dzan’. Dai MTA menghalalkan anjing, tikus, karena menelan ‘istisna’’ mentah-mentah.
Karena itu, benarlah apa yang disampaikan Imam Ayub as-Sikhtiyani – ulama tabiin – (w. 131 H),

عامة من تزندق من أهل العراق لجهلهم بالعربية

“Umumnya orang yang menyimpang mengikuti aliran sesat di kalangan penduduk Irak, karena mereka tidak paham bahasa arab.” (Khutbah al-Kitab, Abu Syamah, hlm. 63).

Keterangan lain disampaikan Imam Ibnu Syihab az-Zuhri – ulama tabiin, muridnya Abu Hurairah –,

إنما أخطأ الناس في كثير من تأويل القرآن لجهلهم بلغة العرب

Banyak masyarakat yang salah dalam mentakwilkan al-Quran, sebabnya adalah karena mereka tidak paham bahasa arab. (Khutbah al-Kitab, Abu Syamah, hlm. 63).

Hasan al-Bashri – ulama tabiin –,

أهلكتهم العجمة يتأولون القرآن على غير تأويله

Mereka sesat karena bahasa selain arab. Mereka mentakwil al-Quran, tidak sesuai takwil yang benar. (Syarh Mukhtashar ar-Raudhah, at-Thufi).

Cinta Ulama Terhadap Bahasa Arab

Kita akan simak, bagaimana syahwat para ulama terhadap bahasa arab.
Kita lihat beberapa keteragan dari mereka,
Keterangan as-Sya’bi – ulama Tabiin, muridnya Usamah, Abu Hurairah –,

النحو في العلم كالملحِ في الطعام لا يُستغنى عنه

Nahwu dalam ilmu itu seperti garam dalam makanan. Selalu dibutuhkan. (Jami Bayan al-Ilmi, 2/325).

Keterangan Muhammad bin Hasan – gurunya Imam as-Syafii –,

خلَّف أبي ثلاثين ألف درهم، فأنفقتُ نصفَها على النحوِ بالري، وأنفقتُ الباقي على الفقه

Ayahku meninggalkan warisan untukku 30.000 dirham (sekitar 12,75 kg emas). Separuhnya, saya gunakan untuk belajar nahwu di kota Roy. Sisinya saya gunakan untuk belajar Fiqh. (al-Ibar fi Khabar, 1/56).

Keterangan Abu Raihan al-Bairuni,

لأنْ أُشتَم بالعربيةِ خير من أُن أمدحَ بالفارسية

“Saya dihina dengan bahasa arab, lebih baik dari pada saya dipuji pake bahasa persi.”

Karena beliau merasa sangat senang bahasa arab terdengar di telinga beliau, sekalipun bentuknya kelimat celaan.

Imam as-Syafii dan Bahasa Arab

Ada buanyak keterangan Imam as-Syafii terkait bahasa arab. Yang menunjukkan bagaimana beliau sangat mencintai bahasa arab. Kita simak beberapa keterangan beliau,
Ilmu nahwu, kunci semua ilmu,

من تبَحَرَّ فى النحو اهتدى إلى كل العلوم

“Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk memahami seluruh ilmu.” (Syadzarat ad-Dzahab, hlm. 1/321).

Jawaban fiqh dengan kaidah nahwu,

لا أُسأَلُ عن مسألةٍ من مسائل الفقهِ إلا أجَبْتُ عنها من قواعدِ النحو

“Tidaklah aku ditanya tentang satu permasalahan fikih, selain aku jawab dengan kaidah nahwu.” (Syadzarat ad-Dzahab, hlm. 1/321).

Rajin belajar nahwu, agar bisa memahami fiqh,

ما أردتُ بها-يعنى:العربية-إلا الاستعانة على الفقه

“Tidaklah aku serius mempelajari nahwu, selain karena aku gunakan untuk membantu mempelajari fikih.” (Siyar A’lam an-Nubala, 10/75).

Sudah saatnya kita mencintai bahasa arab, dan membuktikan cinta itu dengan mempelajarinya.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


1 Comment

sayap lalat

Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:  “Apabila lalat jatuh di bejana ataumakanan dan minumn salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya”.

Dari Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Apabila lalat jatuh pada bejana atau makanan dan minuman salah satu diantara kalian, maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan sayap lainnya terdapat obat”.

[Hadits Riwayat Bukhari no. 3320, 5782, Ahmad dalam Musnadnya No. 230, 246, 263, 340, 355, 388, 398, 443 Abu Dawud No. 3844, Ibnu Majah no. 3505, Ad-Darimi no. 2045, Ibnu Khuzaimah no. 105, Ibnu Hibban no. 1243, 5226, Al-Baihaqino. 252]

Dari Abu Said Al-Khudri radiyallahu anhu dari Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya pada salah satu diantara dua sayap lalat itu terdapat racun dan syap lainnya terdapat obat penawarnya. Apabila lalat jatuh di makanan maka celupkanlah karena lalat mengedepankan racun dan mengakhirkan obat penawarnya”.

[Hadits Riwayat Ahmad no. 67, Ibnu Majah no. 3504, An Nasa’i no. 4259, Al-Baihaqi no. 253]

Hadis2 ini juga telah terbukti melalui kajian sains moden

https://www.abc.se/home/m9783/ir/h/hof.html

http://www.abc.net.au/science/articles/2002/10/01/689400.htm


1 Comment

penjelasan meminum air kencing unta

Penjelasan tentang hadis sahabat meminum air kencing unta

GOLONGAN ANTI HADIS MERAGUI HADIS TENTANG NABI MUHAMMAD MENYURUH SAHABAT MEMINUM AIR KENCING UNTA HANYA KERANA IA TIDAK SESUAI DENGAN LOGIK AKAL YANG SEMEMANGNYA TERBATAS.

BERIKUT ADALAH PENJELASAN TENTANG HADIS TERSEBUT DAN BAGAIMANA SAINS MODEN MENGAKUI MUKJIZAT NABI MUHAMMAD TERSEBUT

Anas bin Malik radiallahu ‘anhu berkata:

Cuaca Madinah tidak sesuai untuk beberapa orang, maka Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka mengikut pengembala untanya dan untuk mereka minum susu dan kencing unta tersebut.

Maka mereka mengikut pengembala itu dan minum susu serta kencing unta sehingga menjadi sihat semula badan mereka.

[ Sahih: Hadis dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Ibn Majah dan lain-lain dengan lafaz yang sedikit berbeza-beza tetapi dengan pengajaran yang sama, iaitu disuruh minum susu dan air kencing unta sebagai ubat. Di atas adalah lafaz al-Bukhari, lihat Sahih al-Bukhari – no: 5686 (Kitab Tibb, Bab Berubat dengan air kencing unta). ]

HADIS INI PADA ZAHIRNYA PELIK TETAPI LIHAT BAGAIMANA ANAS MENGATAKAN “Maka mereka mengikut pengembala itu dan minum susu serta kencing unta sehingga menjadi sihat semula badan mereka”.

INI ADALAH BUKTI BAGAIMANA SUSU DAN AIR KENCING UNTA MAMPU MEMBERI UBAT KEPADA SESETENGAH PENYAKIT…….

Ini adalah satu contoh kaedah perubatan yang dilakukan oleh Rasulullah yang sesuai dengan suasana masyarakat di zamannya. Ia adalah sesuatu yang diterima dan terbukti berkesan. Orang ramai di ketika itu tidak menolaknya, malah mereka menerimanya sebagai sejenis ubat yang mujarab. Ia hanya dipandang aneh oleh masyarakat di zaman kebelakangan kerana tidak biasa dengannya.

Rakan kamu (Nabi Muhammad yang kamu tuduh dengan berbagai tuduhan itu), tidaklah ia menyeleweng (dari jalan yang benar), dan ia pula tidak sesat (dengan kepercayaan yang salah).

Dan ia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan ugama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri.

Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

[ An-Najm 53: 2 – 4 ]

Adapun persoalan tentang najisnya kencing unta, para ahli fiqh mengatakan bahawa berdasarkan hadis di atas, dibolehkan minum air kencing daripada binatang yang halal dimakan dagingnya. Ia tidak lagi dipandang sebagai najis.

[ Dalam bab ini ada beberapa pendapat dan semuanya telah dikupas oleh al-Syaukani dalam Nail al-Authar (terj: Hadimulyo & K. Suhardi; CV. asy-Syifa’, Semarang 1994), jld 1, ms 101-108. ]

Hadis itu TIDAK membawa maksud, kita disuruh menjadikan air kencing unta sebagai “minuman rasmi” atau “minuman adat” kita seperti Pepsi atau Coca Cola atau air kosong. Penggunaan air kencing unta mengikuti petunjuk yang berada di dalam hadis ini khusus untuk penggunaan perubatan ketika ‘dharuurah’ atau keterdesakan sahaja.

Maka, ini tergolong dalam Bab “Berubat Dengan Menggunakan Benda-benda Haram”. Adakah dibolehkan atau tidak. Jawapannya dibolehkan ketika dharuurat.

Seperti mana Allah menjelaskan di dalam al-Quran pengharaman makan bangkai, daging khinzir dan darah, tapi Allah membenarkan kita makan semua itu apabila keadaan berubah kepada “dharuurah” atau keterdesakan. Maka, perkara yang najis, kotor, dan jijik pun Allah benarkan kita makan ketika ‘dharuurah’, yakni ketika dibimbangi berlakunya kebinasaan jiwa dan kematian, ketika tidak ada lagi makanan lain yang boleh dimakan dan ditakuti seseorang itu akan mati kebuluran.

Maka, tidakkah dihalalkan makan benda najis seperti babi, bangkai dan darah yang disebutkan dalam firman Allah itu serupa dengan dibenarkan berubat dengan “air kecing unta” yang juga merupakan najis ketika keadaan mendesak atau dharuurat?

Saintis telah mengkaji kandungan dalam air kencing unta dan mereka telah mendapati ia ada memiliki khasiat-khasiat tertentu yang dapat merawat kanser dan penyakit-penyakit lain. Apakah tidak ini satu bukti bahawa kandungan hadis-hadis Rasulullah itu terbukti benar?

BUKTI SAINS MODEN MEMPERAKUI DAN MENGGUNAKAN KAEDAH NABI MUHAMMAD

http://greenboc.blogspot.com/2011/04/air-kencing-unta-cegah-kesan-radiasi.html

Malah lebih dari itu ia telah dimuatkan dalam jurnal2 milik negara barat ( sila copy dan paste link atas dan bawah dalam browser kalo tidak boleh klik terus )

http://www.health-science-spirit.com/urine.html

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22922085


Leave a comment

Hukum jihad menurut ulama

Hukum Jihad itu terbagi dua : Fardu A’in dan Fardu Kifayah. MenurutIbnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A’in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardy Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A’in. 

A. Fardu Kifayah : 

Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitumemerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimindalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung- jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaummuslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.

“Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang)dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allahdengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk(tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan denganbalasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperangdan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar.” (QS An-Nisa 95) 

Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orangyang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakanjihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa.Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas:anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit. 

“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincangdan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akanmemasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azabyang pedih.” (QS Al-Fath 17) 

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yanglemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlakuikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang.” (QS At-Taubah 91) 
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datangkepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalumereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan merekanafkahkan.” (QS At-Taubah 92)
“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orangyang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang danAllah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS At-Taubah 93) 

Ibnu Qudamah mengatakan: “Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satukali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakanlebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selamadiperlukan.” 
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun.” 

Al-Qurtubi mengatakan: “Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbumusuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkanmusuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dinullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah.” 

Abu Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal denganpanggilan Imamul Haramain mengatakan : “Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehinggatidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranyamemungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, merekabertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kalidalam setahun.”Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orangkafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a’in. 

Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, “Ibnu Hajar telah memberikanisyarat tentang kewajiban Jihad – dengan makna yang lebih umum – sebagai fardu a’in, maka beliau mengattakan : “Dan juga ditetapkanbahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a’in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun denganhatinya.” 
Hadith-hadith yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yangumum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a’in, antara lain : 

“Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidaktergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan.” (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi) 

“Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orangyang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” Yazid binAbdu Rabbihi berkata : “Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan “sebelum hari qiamat.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi,Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir) 

Dari dua hadith di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelumhari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad. 

Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperangsecara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orangyang sakit. Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang- orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a’in, makatidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan. Dibawah ini akah dibahasmengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a’in. 

B. Fardu A’in 
Hukum Jihad menjadi Fardu A’in dalam beberapa keadaan: 

1. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum. 

Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukumjihad menjadi fardu a’in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hariFutuh Mekkah: 

“Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad danniat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad) 

Makna Hadith ini : “Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah” 

Ibnu Hajjar mengatakan : “Dan didalam hadist tersebut mengandungkewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam.” 

2. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukankuffar. 
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan, makajihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin.Allah berfirman : 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”. (QS Al-Anfal 15) 

“Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecualiberbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawakemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS Al-Anfal 16) 

Rasulullah saw bersabda : “Jauhilah tujuh perkara yangmembinasakan, “Beliau saw ditanya: “Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau saw menjawab : (1) MempersekutukanAllah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anakyatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu’minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuatjahat (zina).” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi). 

3. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin. 

Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi fardu ain bagipenghuni wilayah tst. Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum musliminyang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimindiseluruh belahan bumi. Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : “Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hambasahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang. 

Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil ImamMalik dikatakan : “…Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lainsebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal di wilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaanlemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad. 

Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanitadan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya. 

Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Dan juga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin. 

Ar-Ramli (Dari Mazhab Syafi’i) mengatakan : “Maka jika musuh telahmasuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebutwajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan. 

Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan :”Jihad menjadifardu ‘ain didalam 3 keadaan: a. Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan. 

b. Apabila orang kafir telah masuk (menyerang) suatu negeri (diantaranegeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka. 

d. Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, makakaum tsb wajib berangkat. 

## apa yg pasti menyelematkan palestin adalah fardu ain

Jiika takot dan tak mampu

Jgn plak halang org yang cuba menyelematkan baitul maqdis


Leave a comment

Menjawap persoalan anti hadis ayat 5:95 “sebagai hadiah yang disampaikan ke Kaabah”

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu membunuh
binatang-binatang buruan ketika kamu sedang berihram.
Dan sesiapa di antara kamu yang membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya dengan BINATANG TERNAK yang sama dengan
binatang buruan yang dibunuh itu, yang ditetapkan hukumnya oleh dua orang yang adil di antara kamu,
SEBAGAI HADIAH YANG DISAMPAIKAN KE KAABAH atau bayaran kaffarah 5:95

tafsiran aku utk ayat itu
KAABAH adalah kandang kerbau utk binatang ternak dihadiahkan kesana utk disembelihkan, seperti yg ditunjukkan dipadang pasir sekarang
org2 bodoh (binatang ternak) dihadiahkan kepadang pasir utk disembelihkan sampai kocek kosong dan berhutang.

sekarang kongsikan tafsirkan kau diayat itu
klau tidak, aku fahamkan yg kau pun setuju dgn tafsiran aku.

=============================================

benda ni pun banyak kali ditanya oleh anti hadis.. dan banyaak kali jugak sudah dijawap … semuanya logik.. logik logik … logik

Dan di antara mereka pula ada orang-orang yang buta huruf, mereka tidak mengetahui akan isi al-Kitab selain dari angan-angan (penerangan-penerangan bohong dari ketua-ketua mereka), dan mereka hanyalah berpegang kepada sangkaan-sangkaan sahaja.” – [ al-Baqarah: 2/78 ].

pertanyaan kepada golongan anti hadis

kenapa x habiskan sambungan ayat mksd bayaran kaffarah? sbb ATAU itu menjelaskan maksud dan tujuan

“sebagai hadiah yang disampaikan ke Kaabah”

dan utk memudahkan pemahaman supaya tidak tersesat jalan ini tafsir sunni

sebagai hadiah yang disampaikan ke Kaabah (untuk disembelih dan dibahagikan kepada fakir miskin di Tanah Suci), atau bayaran kaffarah, iaitu memberi makan orang-orang miskin

perhatikan terjemahan william picktall

Whoso of you killeth it of set purpose he shall pay its forfeit in the equivalent of that which he hath killed, of domestic animals, the judge to be two men among you known for justice, (the forfeit) to be brought as an offering to the Ka’bah; or, for expiation, he shall feed poor persons, or the equivalent thereof in fasting,

die memisahkan satu dgn tanda ” ; ” selepas kaabah

selanjutnya die menggunakan ” , ”

ini bukan disengajakan tapi ada maknanya …… iaitu bayaran kaffarah itu menjelaskan maksud “sebagai hadiah yang disampaikan ke Kaabah”

Capture


Leave a comment

Wahabi, sufi, asyariyah dan jemaah tabligh

Saya tengok ramai sangat kawan bersengketa antara wahabi, sufi ( tasawuf atau tarekat ), asyariyah ( dan mautiridyah ) dan jemaah tabligh ( deobondi )

Siapakah mereka ini.. Adakah mereka ini sunni…

1. Wahabi

golongan wahhabi pada asasnya berpegang kepada mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal (Mazhab Hambali).

Hakikatnya fahaman Wahabi tidak membawa pemikiran baru tentang akidah. Mereka hanya mengamalkan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bentuk yang lebih keras berbanding apa yang diamalkan oleh Ibnu Taimiyyah sendiri.

Shaikh Atiyyah Saqr mantan ketua fiqh fatwa mesir pun pernah ditanya oleh pelajar2 Mesir tentang Muhammad bin Abdul Wahab, jawapannya “al-Wahhabiyyah dinisbahkan kepada al-Shaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. al-Sahikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Muslih Diniyy (Reformer agama) yang muncul di Kepulauan Tanah Arab. Beliau memerangi kemungkaran dan bid’ah yang tidak menepati agama. Beliau telah bersungguh-sungguh dalam menetapkan tauhid Allah s.w.t. Terdapat di sana sebagai contoh, beberapa masyarakat yang bertawassul dengan beberapa para wali dan mengambil berkat daripada mereka serta memuliakan mereka dengan kemuliaan yang besar ke tahap yang menunjukkan seolah-olah individu-individu wali itu merupakan para nabi atau seolah-olah mereka adalah Allah s.w.t. Melampau dalam cinta boleh membawa kepada kufur. Disebab itu, apabila Nabi s.a.w. melihat para sahabat r.a. amat-amat mencintai Baginda –dan memang wajib ke atas kita untuk mencintai Rasul dan mencintai Allah s.w.t. – akan tetapi melampau dalam cinta adalah suatu perkara yang ditolak. Apabila Rasul s.a.w. melihat kemelampauan para sahabat dalam cinta, Baginda takut mereka akan mengangkatnya melebihi statusnya, lalu Baginda bersabda, ‘Jangan kamu semua memujiku secara melampau sebagaimana golongan Nasrani telah memuji al-Masih Bin Maryam secara melampau. Akan tetapi sebutlah, ‘Hamba Allah dan rasulNya’ ‘ Iaitu jangan puji aku dengan pujian yang amat besar sehingga kamu berikan kepadaku melebihi apa yang aku berhak sepertimana golongan Nasrai cinta Isa bin Maryam dan mengagungkannya dengan pengagungan yang besar sehingga sampai ke tahap mereka sebut Baginda adalah tuhan atau anak tuhan. Melampaui batas dalam cinta adalah perkara yang amat munkar dan ditolak sama sekali. Justeru, Muhammad bin Abdul Wahhab dalam usaha reformasinya telah menekankan perkara ini iaitu tauhid atau pemurnian tauhid bagi Allah s.w.t. dan kepercayaan bahawa Dialah Pembuat kepada segala sesuatu, Dialah Yang mengkayakan, Yang menghidupkan, Yang mematikan. Akan tetapi individu-individu yang diambil berkat mereka oleh orang ramai ke tahap mungkin menjadikan salah seorang daripada mereka berkata, ‘Shaikh besar ini dapat menyembuhkan orang-orang sakit,’ ‘Shaikh besar ini di tangannya rezeki, di tangannya segala sesuatu.’ Melampau dalam menisbahkan perkara ini kepada orang ramai, kemelampauan ini boleh membawa kepada kekufuran. Kerana Allah lah yang bersendirian Yang di dalam tanganNya segala sesuatu. Jadi beliau (Muhammad bin Abdul Wahhab) telah bangun dengan kebangkitan reformasi (islahiyyah) ini dan memberi penekanan yang kuat kepada pemurnian tauhid bagi Allah s.w.t. Walaupun sebahagian pelajar-pelajarnya dan sebahagian yang mengambil mazhabnya, mereka telah melampau dalam tauhid ini, mereka melampau dengan banyak, di mana mereka melarang beberapa perkara yang dapat dihidu daripadanya walaupun dengan sedikit bau, dapat dihidu daripadanya bahawa di sana terdapat sekutu bagi Allah. Akan tetapi saya telah mengatakan dan saya ulangi lagi bahawa kemelampauan dalam semua perkara boleh membawa kepada kesesatan yang amat amat amat besar. Kita semestinya sentiasa menjadi pertengahan (mu’tadilin), jadi rasional sebelum memberi sebarang hukum kepada sesuatu. Kita mesti meneliti dan memahami sebenar-benarnya. Ini kerana tergopoh-gapah dalam mengeluarkan hukum kepada mana-mana manusia yang cinta manusia lain di kalangan para wali contohnya, tergopoh-gapah dalam memberi label kufur kepadanya adalah perkara yang amat memudaratkan. Anda semua pasti tahu hadith yang menyatakan, ‘Siapa berkata kepada saudaranya ‘Wahai kafir’ maka kembali dengannya salah seorang daripada mereka berdua. Kalau benar sebutan itu (maka benarlah) tetapi kalau tidak benar ianya kembali kepadanya’. Apapun yang pentingnya, sebahagian pengikut-pengikut Shaikh yang besar ini telah melampau dalam perkara ini dan mereka telah mengingkari benda-benda ke tahap mereka menghukum ke atas sebahagian manusia sebagai kafir, dan ini adalah satu kesilapan besar. ”

Rakaman jawapan Shaikh Atiyyah Saqr yang merupakan bekas ketua Lajnah Fatwa Mesir ini boleh dilihat pada pautan berikut: http://www.youtube.com/watch?v=K-K0Mnmqpzs

2. Sufi ( tasawuf atau tarekat )

Menjadi satu paradoks moden bahawa di Barat semakin ramai Islamologis yang mengkaji tentang Sufi dan Kesufian (Sufisme) sedangkan di Timur dan di kalangan sarjana Muslim sendiri bukan saja Sufi itu dicemuh malah terdapat banyak usaha untuk menjatuhkan imej Sufisme (mahkota dan intipati islam ) itu sendiri , sedangkan Islam yang sebarkan ke Nusantara , India dan ke Timur amnya semuanya disebarkan oleh para ahli da’i Sufi dan penyebar tarekat .

Berkata ulama muktabar madinah imam malik

 “Orang yang mengamalkan tasawuf tanpa mempelajari fikih, ia merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf ia merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang menemukan kebenaran (man tashawwafa wa lam yatafaqqah fa qad tazandaqa waman tafaqqaha wa lam yatashawwaf faqad tafassaqa wa man jama`a baina humâ fa qad tahaqqaqa).”
Riwayat ini disampaikan oleh beberapa ahli hadis di zamannya, seperti Ahmad Zarruq (w. 899H), Ali Al-Qârî Al-Hawari (w. 1014H), Ali Ibn Ahmad al-Adawi (w. 1224H) dan yang lainnya. 

Imam Syafii yang mazhab fiqihnya paling berpengaruh di Nusantara pun sangat alim dalam ilmu tasawuf. Hal ini seperti apa yang dituturkan oleh Al-Hâfiz As-Suyuti yang mengungkapkannya dalam Ta’yîd al-haqîqat al-âliyah bahwa Imam Syafi`i pernah mengatakan:

“Saya menyertai para sufi dan memperoleh tiga hal saja dari mereka, yakni pernyataan: pertama, waktu adalah pedang, kalau bukan kamu yang mematahkannya, maka ia yang akan mematahkanmu; kedua, apabila kamu tidak terus menyibukkan egomu dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kepalsuan; ketiga, penghilangan adalah kekebalan.

Imam Mazhab Hambaliyah ini juga tidak mengharamkan tasawuf.

Seperti apa yang disampaikan oleh Muhammad Ibn Ahmad As-Saffârini Al-Hanbali (w. 1188 H) menuturkan dari Ibrahim Ibn ‘Abd Allah Al-Qalasani bahwa Imam Ahmad mengatakan tentang kaum sufi.

“Saya tidak mengetahui kaum yang lebih baik dari mereka.” Seseorang berkata kepadanya, “Mereka mendengarkan musik dan mereka sampai pada keadaan mabuk.” Beliau berkata, “Apakah kamu hendak mencegah mereka untuk bersenang-senang selama sejam bersama Allah?”

3. asyariyah ( dan mauturidyah )

Apabila dikatakan asyariyah kita perlu memasukkan mauturidyah kerana dua kelompok akidah ini adalah saling berkait

Berkata sheikh yusof qardawi

“Saya telah melihat bahawa memang ada orang mengatakan demikian “iaitu orang yang mengkritik tentang al-Asy’ariyah”, kemudian beliau berkata: “Al-Azhar bukanlah satu-satunya yang berfaham Asy’ariyah… Umat Islamiyyah pun adalah Asy’ariyyah, al-Azhar adalah Asy’ariy, az-Zaituniyyah adalah Asy’ariy, ad-Deobandi (Di India) adalah Asy’ariy, Nadwah al-‘Ulama adalah Asy’ariyah, madrasah-madrasah di Pakistan adalah Asy’ariyah, dan seluruh dunia Islam (Majoriti) adalah Asy’ariyah”.

“Apabila kita mengambil perkiraan, maka sesungguhnya perkiraan majoriti umat adalah ‘Asy’ariyah, ini semuanya hanya ijtihad-ijtihad dalam masalah cabang aqidah (Furu’ aqidah), dan semua bersepakat atas Syahadatain (Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan juga terhadap kenabian (begitu pun) di dalam beriman kepada Allah, kitabNya, rasulNya dan hari kiamat. Qiamat”.

Rakaman boleh dilihat di sini https://m.youtube.com/watch?v=b9vhIJJqVTo

4. Jemaah tabligh ( deobondi )

Mereka ini adalah pd asasnya bermula dgn mazhab hanafi di india

Tetapi maulana zakariya telah memberikan kebebasan dlm memilih mana2 mazhab 4 kpd ahlinya

Perkara ini telah menyebabkan jt ( jemaah tabligh ) berkembang pesat di seluruh benua

Dr Wahbah Az Zuhayli, pakar ulama fiqh asal Syria, sangat mengapresiasi gerakan ini. Penulis kitab Mawsu’ah al Fiqh al Islamy wal Qadhaya al Muashirah ini sangat memuji JT.

Dalam salah satu fatwanya ia mengatakan bahwa “anggota Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang sangat baik, salih, dan zuhud dan banyak berkorban untuk menyebarkan akidah Islam. ”[9]

Az Zuhayli bahkan menganggap sangat tidak pantas mempertanyakan status sesat atau tidak sesatnya JT. Bagi Az Zuhayli, orang yang mempertanyakan niat baik JT adalah orang yang dengki.[10]

            مارأيكم في جماع
[9] وهؤلاء الدعاة في غاية الصلاح والتقوى والزهد والتضحية من أجل نشر العقيدة Lihat fatawa di zuhayli.com

[10] لماذا نسأل عنهم؟‏!‏ إلا لعرقلة مسيرة الدعوة والتبليغ‏،‏ وحسداً من الآخرين

[11] ibid

#

Maka

Ingat la kawan2 semua

Ini semua hanya masalah ikhtilaf yang tidak sepatutnya kita mengkafirkan disebabkan ikhtilaf hal itu kepada seseorang muslim

Kita semua adalah ( Insya Allah ) adalah termasuk dalam satu kelompok yang telah disabdkan nabi sebagai al-jamaah, kelompok yang terselamat – amin


Leave a comment

Tunetalk … WoW!!

Satunya telco yang memberi peluang perniagaan… BUkan MLM bukan skim cepat kaya!!

WoW

Anda topup anda dapat duit… Topup lebih dapat rebat

Anda daftar anda dapat perlindungan insuran

WoW!!

Anda boleh pilih nombor baru atau kekalkan nombor lama

Pendaftaran nombor baru atau kekal nombor lama semudah abc

Harga pendaftaran yang rendah

WowW

Berminat? Bertukarlah ke prepaid tone exel WOW untuk menjana pendapatan….

untuk keterangan lanjut

Wechat id = pejuang71

Telegram = pejuang ll

Atau inbox id fb = https://m.facebook.com/sunyi.ps0?ref=bookmark

image


Leave a comment

ADAB-ADAB/KESOPANAN JIHAD.

1)JANGAN MELAMPAUI BATAS.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 190

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ

2.190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

yakni,jangan mencincang lawan,jangan membunuh wanita dan anak2 serta manula,jangan mengganggu gereja,jangan menggunakan bom curah,jangan menggunakan senjata kimia,jangan merusak bangunan,jangan merusak pohon2,dst.

Buraidah ra., menuturkan, “Rasulullah SAW apabila mengangkat seorang komandan pasukan perang atau bataliyon, beliau menyampaikan pesan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dan berlaku baik kepada kaum muslimin yang bersamannya. Lalu beliau bersabda, ‘Serbulah dengan (dimulai dengan) membaca “Bismillah fii Sabilillah” (dengan asma Allah, demi di jalan Allah), Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Seranglah dan janganlah kamu menggelapkan harta rampasan perang. Jangan mengkhianati perjanjian, jangan mencincang korban yang terbunuh dan jangan membunuh seorang anakpun. Apabila kamu mendapati musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang musyrik, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Mana yang mereka setujui, maka terimalah dan hentikan (menyerang) mereka. Ajaklah mereka kepada Islam. Kalau mereka setuju maka terimalah mereka, lalu ajaklah mereka berpindah dari daerah mereka ke daerah kaum Muhajirin. Tetapi, kalau mereka menolak untuk berpindah (hijrah). dati dsreah mrereka, maka beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan perlakuan seperti orang-orang badui (pengembara) dari kalangan kaum muslimin. Berlaku bagi mereka hukum Allah SWT sedang mereka tidak menerima bagian apapun dari ghanimah dan fa’i, kecuali bila mereka berihad bersama kaum muslimin. Jika mereka menolak perkara tersebut, maka mintalah kepada mereka untuk membayar jizyah, kalau mereka setuju, maka terimalah dari mereka dan hentikan (menyerang) mereka. Tetapi jika mereka masih saja menolak perkara-perkara tersebut, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Apabila kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu agar mereka menghendaki agar kamu membuat untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian Nabi-Nya, maka janganlah kamu buatkan untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian Nabi-Nya; tetapi buatkanlah untuk mereka perjanjian dirimu sendiri dan perjanjian kawan-kawanmu, karena sesungguhnya lebih ringan resikonya melanggar perjanjian Allah dan perjanjian-Nabi-Nya; Apabila kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka menghendaki agar kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka janganlah kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, tetapi keluarkanlah mereka atas dasar hukum yang kamu ijtihadkan. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah tindakanmu terhadap mereka itu tepat dengan keputusan Allah atau tidak.” (HR. Muslim)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, ia berkata, “Aku mendapati seorang wanita yang terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah saw. Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak dalam peperangan,” (HR Bukhari [3015] dan Muslim [1744]).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Rasulullah saw. mengecam keras pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak,” (HR Bukhari [3014] dan Muslim [1744]).

Dari Buraidah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Berperanglah fi sabilillah dengan menyebut nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan jangan mencuri harta rampasan perang, jangan berkhianat, jangan mencincang mayat dan janganlah membunuh anak-anak,” (HR Muslim [1731]).

Dari Rabbah bin Rabi’ r.a, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah saw. dalam sebuah peperangan. Beliau melihat orang-orang berkumpul mengelilingi sesuatu. Lalu beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Beliau berkata, ‘Coba lihat mengapa mereka berkumpul?’ Tak lama kemudian orang itu kembali dan berkata, ‘Mereka berkumpul menyaksikan mayat seorang wanita yang terbunuh.’ Beliau berkata, ‘Bukan mereka yang harus dibunuh!’ Ketika itu pasukan dipimpin oleh Khalid bin al-Walid. Lalu Rasulullah saw. mengutus seseorang dan bersabda, ‘Katakanlah kepada Khalid, janganlah membunuh wanita dan jangan membunuh pegawai/buruh’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2669], Ibnu Majah [2842], Ahmad [III/388] dan [488], [IV/178-179] dan [346], al-Hakim [II/127], Ibnu Hibban [4789], Abu Ya’la [1546], ath-Thabrani [4619 dan 4622], al-Baihaqi [IX/82]).

Dari al-Aswad bin Sari’ r.a, ia berkata, “Aku menemui Rasulullah saw. dan ikut berperang bersama beliau, pada waktu itu bertepatan pada waktu Zhuhur. Anggota pasukan bertempur dengan hebat sehingga mereka membunuh anak-anak -dalam riwayat lain dengan lafazh dzurriyah-. Sampailah berita itu kepada Rasulullah saw. beliau bersabda, ‘Mengapa orang-orang itu melampaui batas dalam berperang sehingga membunuh anak-anak.’ Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka adalah anak-anak kaum musyrikin.’ Rasul menjawab, Ingatlah, sesungguhnya orang-orang terbaik dari kamu adalah anak-anak kaum musyrikin.’ Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘Ingat, janganlah membunuh anak-anak, janganlah membunuh anak-anak.’ Beliau juga bersabda, ‘Setiap jiwa terlahir di atas fitrah hingga ia mampu mengungkapkan sendiri dengan lisannya apa yang ada dalam hatinya, lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi atau Nashrani’,” (Shahih, HR an-Nasa’i dalam al-Kubraa [8616], Ahmad [III/435], al-Hakim [II/123] dan al-Baihaqi [lX/77]).

Haram hukumnya membunuh wanita, anak-anak dan para buruh/ pekerja/pegawai yang tidak ikut berperang dan membawa senjata untuk berperang. Hal ini telah dinukil secara mutawatir dari wasiat para Khulafa-ur Rasyidin kepada para panglima perang Islam.

Asy-Syaukani berkata dalam NailulAuthaar (VII/73), “Hadits-hadits bab ini menunjukkan tidak dibolehkannya membunuh kaum wanita dan anak-anak.”

2)BOLEH MEMBUNUH TENTARA MUSUH YG JAHAT,SAMPAI BERHENTI SERANGANNYA.

Al-Fath (48) No. Ayat : : 16

قُل لِّلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الْأَعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُوْلِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ فَإِن تُطِيعُوا يُؤْتِكُمُ اللَّهُ أَجْراً حَسَناً وَإِن تَتَوَلَّوْا كَمَا تَوَلَّيْتُم مِّن قَبْلُ يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيماً

48.16. Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam). Maka jika kamu patuhi (ajakan itu) niscaya Allah akan memberikan kepadamu pahala yang baik dan jika kamu berpaling sebagaimana kamu telah berpaling sebelumnya, niscaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih”.

===============================================================

Baqarah (2) No. Ayat : : 190

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ

2.190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 191

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ تُقَاتِلُوهُمْ عِندَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِن قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاء الْكَافِرِينَ

2.191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 192

فَإِنِ انتَهَوْاْ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

2.192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 193

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ فَإِنِ انتَهَواْ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ

2.193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

3)JIKA MUSUH MINTA DAMAI ATAU GENCATAN SENJATA,TAK ADA PERMUSUHAN LAGI

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 190

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ

2.190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 191

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلاَ تُقَاتِلُوهُمْ عِندَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِن قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاء الْكَافِرِينَ

2.191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

Al-Baqarah (2) No. Ayat : : 192

فَإِنِ انتَهَوْاْ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

2.192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

============================================================

Al-Anfal (8) No. Ayat : : 60

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

8.60. Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).

Al-Anfal (8) No. Ayat : : 61

وَإِن جَنَحُواْ لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

8.61. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Al-Anfal (8) No. Ayat : : 62

وَإِن يُرِيدُواْ أَن يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللّهُ هُوَ الَّذِيَ أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ

8.62. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min,

==========================================================

An-Nisa (4) No. Ayat : : 91

سَتَجِدُونَ آخَرِينَ يُرِيدُونَ أَن يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُواْ قَوْمَهُمْ كُلَّ مَا رُدُّوَاْ إِلَى الْفِتْنِةِ أُرْكِسُواْ فِيِهَا فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْوَيُلْقُواْ إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوَاْ أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثِقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلَـئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً

4.91. Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka.

4)MEMBERI SUAKA/PERLINDUNGAN MUSUH YANG TAK MAU MEMERANGI KITA..MEREKA KAUM SIPIL YANG TAK MEMERANGI KITA

An-Nisa (4) No. Ayat : : 90

إِلاَّ الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَىَ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ أَوْ جَآؤُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَن يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُواْ قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاء اللّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْاْ إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً

4.90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya . Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

=========================================================

At-Taubah (9) No. Ayat : : 6

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ

9.6. Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.

5)MENGHARGAI PERJANJIAN DAMAI DENGAN JUJUR

At-Taubah (9) No. Ayat : : 7

كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِندَ اللّهِ وَعِندَ رَسُولِهِ إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدتُّمْ عِندَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُواْ لَكُمْ فَاسْتَقِيمُواْ لَهُمْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

9.7. Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam ? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

At-Taubah (9) No. Ayat : : 8

كَيْفَ وَإِن يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لاَ يَرْقُبُواْ فِيكُمْ إِلاًّ وَلاَ ذِمَّةً يُرْضُونَكُم بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ

9.8. Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian

============================================================

At-Taubah (9) No. Ayat : : 10

لاَ يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلاًّ وَلاَ ذِمَّةً وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ

9.10. Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

=============================================================

At-Taubah (9) No. Ayat : : 12

وَإِن نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُم مِّن بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُواْ فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُواْ أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ

9.12. Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.

At-Taubah (9) No. Ayat : : 13

أَلاَ تُقَاتِلُونَ قَوْماً نَّكَثُواْ أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّواْ بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُم بَدَؤُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ

9.13. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

At-Taubah (9) No. Ayat : : 14

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ

9.14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

6)BOLEH MENGHUKUM PARA PENGHIANAT DALAM PERANG

An-Nisa (4) No. Ayat : : 89

وَدُّواْ لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُواْ فَتَكُونُونَ سَوَاء فَلاَ تَتَّخِذُواْ مِنْهُمْ أَوْلِيَاء حَتَّىَ يُهَاجِرُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتَّمُوهُمْ وَلاَ تَتَّخِذُواْ مِنْهُمْ وَلِيّاً وَلاَ نَصِيراً

4.89. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling , tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,

An-Nisa (4) No. Ayat : : 90

إِلاَّ الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَىَ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ أَوْ جَآؤُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَن يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُواْ قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاء اللّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْاْ إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً

4.90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya . Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.

An-Nisa (4) No. Ayat : : 91

سَتَجِدُونَ آخَرِينَ يُرِيدُونَ أَن يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُواْ قَوْمَهُمْ كُلَّ مَا رُدُّوَاْ إِلَى الْفِتْنِةِ أُرْكِسُواْ فِيِهَا فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْوَيُلْقُواْ إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوَاْ أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثِقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلَـئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً

4.91. Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka.

===============================================================

Al-Ahzab (33) No. Ayat : : 26

وَأَنزَلَ الَّذِينَ ظَاهَرُوهُم مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيقاً تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقاً

33.26. Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan .

Al-Ahzab (33) No. Ayat : : 27

وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضاً لَّمْ تَطَؤُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيراً

33.27. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak . Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Sumber : https://m.facebook.com/photo.php?fbid=1395403807435225&set=a.1380450375597235.1073741828.100008968570713&type=1&ref=m_notif&notif_t=like_tagged


Leave a comment

Halal dan haram alatan muzik

Oleh: Farid Nu’man Hasan – 04/11/14 | 11:26 | 11 Muharram 1436 H

Pembahasan ini hanya membatasi pada musik saja, bukan nyanyiannya. Inilah alat hiburan yang paling terkenal sejagat, paling tua, dan paling banyak peminatnya, tua, muda, pria, wanita, awam, bahkan yang disebut sebagai ulama. Pro dan kontra apakah musik itu sesuatu yang haramkan atau dihalalkan oleh syariat Islam terus menerus terjadi. Sudah sangat banyak ulama Islam membahasnya, dari zaman ke zaman, di berbagai belahan bumi kaum muslimin, yang kesimpulannya adalah tidak ada kata final dan kesepakatan di antara mereka. Banyak yang berpendirian haram sesuai dalil yang mereka yakini jelas, tegas, dan shahih, dan banyak pula yang meyakini mubah dengan dalil yang mereka juga yakini jelas, tegas, dan shahih.

Para ulama seperti Imam Abu Yusuf, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam An-Nawawi, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syeikh Abdullah Nashih ‘Ulwan, dan lainnya berdiri pada pihak yang mengharamkannya, baik melalaikan atau tidak, keharamannya karena benda dan musiknya itu sendiri, bahkan di antara mereka ada yang membuat karya khusus untuk memfatwakan keharamannya.

Keharaman itu berlaku bagi pemain, pendengar, dan yang hadir dalam majelis musik (konser), berikut ini keterangannya:

ذهب الفقهاء إلى أن الاستماع إلى المعازف المحرمة حرام، والجلوس في مجلسها حرام

Para ahli fiqih berpendapat bahwa mendengarkan alat-alat musik yang diharamkan adalah haram, dan duduk di dalam majelis alat-alat musik juga haram. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/178)

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah mengatakan:

العود والطنبور وسائر الملاهي حرام، ومستمعها فاسق

‘Uud (alat musik petik), tamburin, dan semua alat musik adalah haram, dan menjadi pendengarnya adalah fasiq. (Ighatsatul Lahfan min Mashayyidisy Syaithan, 1/248)

Beliau – dan Beliau adalah ulama yang sangat bersemangat dalam memfatwakan keharaman musik dan nyanyian- juga mengatakan:

قلت: مذهب أبى حنيفة فى ذلك من أشد المذاهب، وقوله فيه أغلظ الأقوال. وقد صرح أصحابه بتحريم سماع الملاهى كلها، كالمزمار، والدف، حتى الضرب بالقضيب، وصرحوا بأنه معصية، يوجب الفسق، وترد به الشهادة، وأبلغ من ذلك أنهم قالوا: إن السماع فسق، والتلذذ به كفر، هذا لفظهم، ورووا فى ذلك حديثاً لا يصح رفعه

قالوا: ويجب عليه أن يجتهد فى أن لا يسمعه إذا مر به، أو كان فى جواره

وقال أبو يوسف، فى دار يسمع منها صوت المعازف والملاهى, أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض”، فلو لم يجز الدخول بغير إذن لامتنع الناس من إقامة الفرض

قالوا: ويتقدم إليه الإمام إذا سمع ذلك من داره، فإن أصر حبسه وضربه سياطاً، وإن شاء أزعجه عن داره

Aku (Ibnul Qayyim) berkata, “Madzhab paling keras dalam masalah ini adalah madzhabnya Abu Hanifah, dan pendapatnya dalam masalah ini adalah pendapat yang paling tegas. Sahabat-sahabatnya telah menerangkan tentang keharaman mendengarkan semua alat musik seperti seruling, rebana, bahkan sampai memukul batang pohon sekali pun. Mereka menerangkan bahwa hal itu adalah maksiat, pelakunya adalah fasiq, kesaksiannya tertolak, dan lebih tegas dari itu mereka mengatakan: mendengarkan musik adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur, itulah lafazh perkataan mereka, dan mereka meriwayatkan hadits (sebagai dasar pendapatnya, pen) namun tidak shahih sebagai hadits yang berasal dari nabi.

Mereka mengatakan: wajib bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh tidak mendengarkan musik jika melewatinya, atau ketika musik itu ada pada tetangganya.

Abu Yusuf mengatakan, jika di sebuah rumah terdengar suara musik maka masuklah ke rumah itu tanpa izin mereka, sebab mencegah kemungkaran adalah wajib. Seandainya tidak diizinkan masuk, niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan kewajiban nahi munkar tersebut.

Mereka mengatakan: jika imam mendengarkan musik dari rumah seseorang, maka ia mesti mendatanginya. Jika dia melawan maka imam mesti menahannya dan memukulnya dengan pecut, bahkan jika dia mau, dia boleh diusir dari rumahnya.” (Ighatsatul Lahfan, 1/227)

Sedangkan Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Ibnu Thahir Al-Maqdisi, Imam Al-Ghazali, Syeikh Ali Ath-Thanthawi, Syeikh Ahmad Syurbashi, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan lainnya berdiri pada pihak yang membolehkannya, kecuali jika sudah melalaikan, dan dicampur hal-hal yang diharamkan, dan di antara mereka ada yang membuat karya khusus tentang Nyanyian dan Musik untuk menguatkan pendapat kebolehannya, seperti Imam Al-Ghazali dan Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi.

Bagi mereka haramnya musik adalah karena sebab yang lainnya, yaitu melalaikan, jika tidak maka tidak apa-apa. Berikut ini keterangannya:

نص بعض الفقهاء على أن ما حرم من المعازف وآلات اللهو لم يحرم لعينه وإنما لعلة أخرى: فقال ابن عابدين: آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها

Perkataan sebagian ahli fiqih, bahwa keharaman alat-alat musik dan permainan itu bukan karena bendanya yang haram, tetapi karena adanya ‘ilat (sebab) yang lain. Ibnu ‘Abidin berkata, “Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah Anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/169)

Bahkan kelompok yang membolehkan ini, sampai taraf membolehkan musik sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit jika dalam keadaan darurat. Perhatikan ini:

Imam Syihabuddin Ar-Ramli Rahimahullah menjelaskan:

نَعَمْ لَوْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ عَدْلَانِ بِأَنَّ الْمَرِيضَ لَا يَنْفَعُهُ لِمَرَضِهِ إلَّا الْعُودُ عُمِلَ بِخَبَرِهِمَا وَحَلَّ لَهُ اسْتِمَاعُهُ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسٍ فِيهِ الْخَمْرُ، وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ يُبَاحُ اسْتِمَاعُ آلَةِ اللَّهْوِ إذَا نَفَعَتْ مَنْ مَرِضَ: أَيْ لِمَنْ بِهِ ذَلِكَ الْمَرَضُ وَتَعَيَّنَ الشِّفَاءُ فِي سَمَاعِهِ

Ya, seandainya ada dua dokter yang adil mengabarkan bahwa jika ada orang sakit yang penyakitnya tidak bisa disembuhkan kecuali dengan mendengarkan ‘uud (musik alat petik sejenis Kecapi), maka kabar itu boleh diamalkan dan halal mendengarkannya sebagaimana berobat dengan najis yang di dalamnya terdapat khamr. Atas dasar ini, mesti dipahami perkataan Al-Hulaimi bahwa bolehnya mendengarkan alat musik jika bermanfaat bagi penyakit, yaitu bagi orang yang memang secara khusus penyakitnya bisa disembuhkan dengan mendengarkannya. (Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 8/297)

Sementara ulama lain –seperti Syeikh Asy-Syubramalisi- mengatakan:

آلة اللهو قد يباح استعمالها بأن أخبر طبيب عدل مريضا بأنه لا يزيل مرضه إلا سماع الآلة، ولم يوجد في تلك الحالة إلا الآلة المحرمة

Dibolehkan menggunakan alat musik bagi orang yang sakit dengan rekomendasi dari dokter yang adil, dalam keadaan memang penyakitnya itu tidak bisa hilang kecuali dengan mendengarkannya, dan tidak ditemukan dalam keadaan seperti itu sebagai obat lain kecuali alat-alat musik yang diharamkan itu. (Hasyiah Asy-Syubramalisi ma’a Nihayatil Muhtaj, 3/385)

Kita lihat, sangat berbeda antara kelompok satu dibanding lainnya, dengan perbedaan yang begitu jauh. Wallahul Musta’an!

Sebagian ulama mengatakan, bahwa telah terjadi kesepakatan ulama jika alat-alat musik dimainkan bersamaan (semacam orkestra) maka itu diharamkan. Ada pun pembolehan sebagian ulama madzhab Syafi’i –seperti Imam Al-Ghazali- adalah jika alat musik itu dimainkan sendirian (satu alat saja), itu pun masih ditentang oleh yang lainnya.

Berikut ini keterangan Imam Ibnul Qayyim –mengutip dari Imam Ibnu Ash-Shalah:

وقد حكى أبو عمرو بن الصلاح الإجماع على تحريم السماع، الذى جمع الدف والشبابة. والغناء. فقال فى فتاويه:

وأما إباحة هذا السماع وتحليله، فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت، فاستماع ذلك حرام، عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين. ولم يثبت عن أحد- ممن يعتد بقوله فى الإجماع والاختلاف- أنه أباح هذا السماع، والخلاف المنقول عن بعض أصحاب الشافعى إنما نقل فى الشبابة منفردة، والدف منفرداً، فمن لا يحصل، أو لا يتأمل، ربما اعتقد خلافاً بين الشافعيين فى هذا السماع الجامع هذه الملاهى، وذلك وهم بين من الصائر إليه، تنادى عليه أدلة الشرع والعقل، مع أنه ليس كل خلاف يستروح إليه، ويعتمد عليه، ومن تتبع ما اختلف فيه العلماء، وأخذ بالرخص من أقاويلهم، تزندق أو كاد

Abu Amr bin Ash-Shalah menyebutkan adanya ijma’ tentang keharaman mendengarkan rebana, klarinet, dan nyanyian secara bersamaan. Beliau berkata dalam Fatawi-nya:

Ada pun tentang kebolehan dan kehalalan mendengarkannya, maka ketahuilah bahwa rebana, klarinet, dan nyanyian jika dimainkan bersama-sama maka itu haram menurut para imam madzhab dan selain mereka dari kalangan ulama kaum muslimin. Tidak ada satu pun keterangan pasti dari ulama yang ucapannya bisa diperhitungkan, baik dalam masalah ijma’ dan ikhtilaf, yang membolehkan mendengarkannya.

Perbedaan yang dinukil dari sebagian pengikut Syafi’i adalah dalam masalah klarinet jika dimainkan sendiri, dan rebana dimainkan sendiri. Bagi mereka yang tidak memahami dan merenungkannya, mungkin meyakini bahwa perselisihan di antara Syafi’iyyin ini adalah dalam masalah mendengarkan musik jika dimainkan bersamaan. Padahal itu jelas kekeliruan yang bertentangan dengan dalil syariat dan logika.

Di samping itu tidak semua perselisihan bisa kita cari-cari yang mudah lalu kita mengikuti hal itu, sebab barang siapa yang mengikuti perselisihan ulama lalu dia mencari-cari yang ringan dari pendapat-pendapat mereka, maka itu telah atau hampir zindik. (Ighatsatul Lahfan, 1/228)

Perkataan Imam Ibnu Ash-Shalah yang terakhir, merupakan kritikan keras bagi mereka yang memilih pendapat yang enak-enak, yang ringan-ringan, di antara pendapat yang melarang dan mengharamkan. Perkataan ini mesti dipahami bahwa sikap itu didasari oleh pelakunya karena hawa nafsu, bukan didasari ilmu dan hujjah. Ada pun memilih pendapat ulama yang lebih ringan, mudah, dan mubah, di tengah pendapat ulama lain yang mengharamkannya, jika didasari hujjah yang kuat, tidaklah itu hal tercela, justru itulah sikap yang mesti diikuti, yaitu mengikuti dalil yang lebih kuat. Sebab keshalihan seseorang dalam beragama, dan kehati-hatiannya terhadap dosa, tidaklah ditentukan seberapa banyak dia mengharam-haramkan sesuatu, atau dia mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan sesuatu. Sebagaimana kebijaksanaan seseorang juga tidaklah ditentukan oleh seberapa banyak dia memboleh-bolehkan sesuatu, semuanya mesti dikembalikan kepada dalil dan kaidah ilmu yang shahih.

A. Alat Musik Dalam Alquran dan Sunnah

Alat musik, baik dengan istilah umumnya seperti Al-Ma’azif, Alatul Malahiy, dan Alatuth Tharbi, tidak akan kita temukan dalam Alquran. Kita bisa menemukannya dalam kitab-kitab tafsir sebagai perkataan ahli tafsir saja, bukan firman Allah Taala, sebagaimana yang nanti akan kami uraikan. Begitu pula dengan istilah yang lebih khusus seperti Ad-Duf (rebana), Asy-Syababah (klarinet), Al-‘Uud (kecapi), At-Thambur (tamburin), dan semisalnya, juga tidak ada dalam Alquran sedikit pun.

Ada pun dalam As-Sunnah, istilah Al-Ma’azif begitu banyak tertera dalam berbagai hadits dalam bentuk penceritaan yang beragam, dan diriwayatkan oleh banyak imam-imam hadits.

Alatul Malahiy juga tidak ada dalam hadits, kecuali hanya dalam bentuk judul bab saja. Seperti kitabnya Imam Ibnu Abi Ad-Dun-ya, Dzammul Malahiy (Kecaman untuk alat-alat musik), atau kitabnya Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, dalam Bab Maa Ja’a fi Dzammil Malahiy minal Ma’azif wal Mazamir wa Nahwiha (Bab tentang celaan untuk alat-alat musik, seruling, dan semisalnya). Alatuth Tharbi juga tidak kita temukan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

B. Apa itu Al-Ma’azif – المَعَازِف?

Al-Ma’azif merupakan jamak dari Al-Mi’zaf – المعزف, dari kata ‘azafa, yang artinya berpaling. Para ulama kita mendefinisikannya secara beragam.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك

Al-Ma’azif adalah semua alat musik, dan tidak ada perselisihan pendapat para ahli bahasa atas hal itu. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

وهي آلات الملاهي ونقل القرطبي عن الجوهري أن المعازف الغناء والذي في صحاحه أنها آلات اللهو وقيل أصوات الملاهي وفي حواشي الدمياطي المعازف الدفوف وغيرها مما يضرب به

Itu adalah alat-alat musik. Al-Qurthubi menukil dari Al-Jauhari bahwa Al-Ma’azif adalah nyanyian, dan yang tertera dalam kitab Shihah-nya bahwa itu adalah alat-alat musik, dan ada yang mengatakan suara-suara yang melalaikan. Dalam Hawasyi Ad-Dimyathi disebutkan bahwa Al-Ma’azif adalah rebana dan alat lainnya yang termasuk alat musik pukul. (Fathul Bari, 10/55)

Imam Ibnu Hajar juga menyebut bahwa Al-Ma’azif adalah:

وهي المزاهر والات الملاهي

Itu adalah seruling dan alat-alat musik. (Ibid, 1/156)

Imam Abul Faraj Al-Jauzi mengatakan:

وَأما المعازف فَهِيَ الملاهي المصوتة

Ada pun Al-Ma’azif, dia adalah suara yang melalaikan. (Kasyful Musykil, 4/145)

Berkata Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah:

اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج

“Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga), simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An-Nubala, 21/158)

Imam Abul ‘Ala Al-Mubarkafuri mengatakan:

وَهِيَ الدُّفُوفُ وَغَيْرُهَا مِمَّا يُضْرَبُ كَذَا فِي النِّهَايَةِ وَقَالَ فِي الْقَامُوسِ الْمَعَازِفُ الْمَلَاهِي كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ

Itu adalah rebana dan alat musik pukul lainnya, sebagaimana di sebutkan dalam An-Nihayah. Ada pun dalam Al-Qamus, Al-Ma’azif Al-Malahi adalah kecapi dan tamburin. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 6/377-378)

Maka, bisa kita simpulkan dari penjelasan ulama, Al-Ma’azif adalah semua alat musik, seperti kecapi, rebana dan semua alat musik yang dipukul, seruling, dan lainnya.

Selanjutnya kami paparkan kedua pihak antara yang mengharamkan dan membolehkan beserta alasan masing-masing pihak, beserta deretan nama-nama ulama di masing-masing golongan.

C. Bersama Para Ulama Yang Mengharamkan

Berikut ini adalah hujjah pihak yang mengharamkan alat-alat musik:

Dari Alquran

Dalam Alquran, kita tidak akan temui ayat yang secara jelas dan tegas membicarakan alat musik, baik memainkan dan mendengarkannya. Namun yang akan kita temui adalah banyak ayat yang mengecam segala bentuk permainan dan perkataan yang melalaikan, sehingga dengan menggunakan pendekatan tafsir –baik salaf dan khalaf- mereka mengartikannya sebagai musik, nyayian, dan lagu. Artinya, bukan dari ayat itu sendiri yang secara apa adanya, tersurat (manthuuq), menunjukkan kata-kata musik atau istilah lainnya tentang musik seperti alatuth tharbi, Al-malaahi, dan Al-ma’aazif, tetapi penyebutan musik itu berasal dari interpretasi (tafsir) para mufassir dan ulama, yang memungkinkan terjadinya tafsir-tafsir yang lain selain musik, seperti yang akan kita lihat nanti.

Sebagai contoh surat Al-Baqarah ayat 102:

وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ

Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah) dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan …. (Al-Baqarah: 101-102)

Firman-Nya yang berbunyi: … dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan.

وهي المعازف واللعب وكل شيء يصد عن ذكر الله

Itu adalah alat-alat musik, permainan, dan semua hal yang menghalangi manusia dari mengingat Allah. (Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, 2/316. Imam Ibnu Abi Hatim, Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 1/186. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 1/346. Imam As-Suyuthi, Ad-Durul Mantsur, 1/234. Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 4/270)

Ayat lainnya: Surat Luqman ayat 6:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْم

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan (Luqman: 6)

Apa yang dimaksud perkataan tidak berguna (lahwul hadits)? Di sebutkan dalam Al-Akhbar Al-Musnadah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Itu adalah alat musik dan penyanyi.” (Tafsir As-Sam’ani, 4/226)

Sementara Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah, ‘Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, dan mayoritas ahli tafsir mengatakan ayat ini turun tentang nyanyian. Bahkan Abdullah bin Mas’ud bersumpah atas hal itu. Al-Hasan mengatakan juga: Al-ma’aazif (alat-alat musik). Sementara Adh Dhahak mengatakan itu adalah syirik kepada Allah. Ibnu Juraij mengatakan itu adalah drum (bedug). Abdullah bin Sahl At-Tastari mengatakan: itu adalah berdebat tentang agama dan kebatilan. Qatadah mengatakan bahwa maksudnya adalah ucapan orang-orang Quraisy yang mempermainkan Islam, dan kebiasaan mereka dengan hal-hal yang batil. (Ibid. Lihat juga Imam Ibnu ‘Athiyah, Tafsir Alquran, 4/345, Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami’ Liahkamil Quran, 14/52)

Ayat lainnya:

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (Al-Anfal : 35)

Ini merupakan kecaman atas kebiasaan Arab jahiliyah, yang melakukan ibadah dengan cara “hiburan” yaitu bersiul dan tepuk tangan. Maka, melalui pendekatan qiyas aula, jika bersiul dan tepuk tangan saja merupakan hal yang buruk dan dikecam, apalagi nyanyian dan musik.

Demikianlah dalil-dalil Alquran yang dianggap mengharamkan musik. Masih ada beberapa ayat lainnya, tetapi ayat-ayat tersebut lebih pas kita bahas ketika membahas Nyanyian dan Lagu.

Dalil-Dalil dari As-Sunnah

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi hujjah haramnya musik.

Hadits pertama:

وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ, “لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Berkata Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)

Hadits ini, bagi kelompok ini adalah SHAHIH (valid) dan SHARIH (jelas), shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ bahwa Shahih Bukhari adalah kitab paling Shahih setelah Alquran. Sharih (jelas) karena nabi tegas mengatakannya bahwa jika “akan datang masa-masa umatnya menghalalkan” berarti dahulu hal itu diharamkan.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mendhaifkan hadits ini karena Imam Bukhari menulisnya secara mu’allaq, yaitu terputus sanadnya. Menurutnya Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini secara langsung dari Hisyam bin Ammar, terbukti dengan apa yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri, “Berkata Hisyam bin Ammar …”, bukan “Dari Hisyam bin Ammar …”, maka menurut Imam Ibnu Hazm kalimat Berkata Hisyam bin Ammar menunjukkan Beliau tidak mendengarkan langsung dari Hisyam bin Ammar, sehingga Imam Ibnu Hazm menolak keshahihan hadits ini.

Namun, para ulama telah mengkritik keras Imam Ibnu Hazm. Di antara yang paling bersemangat dan tajam adalah Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan, katanya:

هذا حديث صحيح، أخرجه البخارى فى “صحيحه” محتجاً به، وعلقه تعليقاً مجزوماً به

“Hadits ini shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, beliau menjadikannya sebagai hujjah, dan Beliau meriwayatkannya secara mu’allaq namun bernilai jazm (pasti lagi tegas).”

Lalu Beliau melanjutkan:

ولم يصنع من قدح فى صحة هذا الحديث شيئاً، كابن حزم، نصرة لمذهبه الباطل فى إباحة الملاهى، وزعم أنه منقطع، لأن البخارى لم يصل سنده به. وجواب هذا الوهم من وجوه:

Sedikit pun pihak yang mencacat hadits ini tidaklah bisa berbuat apa-apa, seperti Ibnu Hazm, dia dalam rangka membela pendapatnya yang batil dalam membolehkan alat musik, telah mengira hadits ini terputus (munqathi’) karena Imam Bukhari tidak menyambungkan sanadnya. Ada beberapa sisi untuk menjawab keraguan ini (lalu Ibnul Qayyim menyebut lima alasan)[1] …. (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengomentari Imam Ibnu Hazm, katanya:

فزعم بن حزم أنه منقطع فيما بين البخاري وهشام وجعله جوابا عن الاحتجاج به على تحريم المعازف وأخطأ في ذلك من وجوه والحديث صحيح معروف الاتصال بشرط الصحيح

Ibnu Hazm menyangka bahwa hadits ini terputus sanadnya antara Al-Bukhari dan Hisyam, lalu dia menjadikannya itu sebagai jawaban atas hujah pengharaman alat-alat musik. Beliau keliru dalam hal ini di banyak sisi, hadits ini shahih, dikenal bersambung sanadnya sesuai syarat hadits shahih. (Fathul Bari, 10/52)

Hadits kedua:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة

Dari Abu Umamah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib dan perkara jahiliyah … (HR. Ahmad No. 22307, Ath-Thayalisi No. 1230, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 7803, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6108)

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum atasnya. Tetapi, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah – invalid text), sebagaimana dikatakan Syeikh Syu’aib Al-Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan ‘Ali bin Yazid. (Ta’liq Musnad Ahmad, 36/646)

Hadits ketiga:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخُمُورُ

 

Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Akan datang pada umat mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?” Beliau bersabda, “Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At-Tirmidzi No. 2212, katanya: hadits ini gharib. Ar-Ruyani dalam Musnadnya No. 132, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 5810. Lafazh ini milik At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5467)

Hadits ini menceritakan masa depan umat Islam yang kelam, yakni ketika musik, biduanita, dan khamr meraja lela. Ini menunjukkan bahwa musik adalah hal diharamkan bahkan disetarakan dengan khamr.

Hadits keempat:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ, لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ, يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا, وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ, يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ, وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

Dari Abi Malik Al-Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda:

“Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath-Thabarani, Al-Kabir No. 3419. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)

Hadits kelima:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ

Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696.. Abu Ya’la No. 2729, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 20991. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj No. 1792), Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 2425. Syeikh Syu’aib Al-Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 4/280). Syeikh Husein Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la mengatakan: para perawinya tepercaya).

Imam Abu Daud berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al-Kubah, dia menjawab: Ath-Thabl – drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639). Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al-Kubah adalah Al-‘Uud- kecapi. (Al-Mushannaf No. 24080). Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al-Kubah adalah Ath-Thablush Shaghir – gendang kecil. (Jami’ul Ushul, 5/97). Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al-Kubah? Beliau menjawab: Thabl – drum. (Al-Badrul Munir, 9/649). Imam Muhammad bin Katsir mengatakan, Al-Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk Yaman. (Imam Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)

Hadits keenam:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Ahmad No. 2625, Syeikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 4/381. Al-Baihaqi dalam Al-Adab No. 628)

Hadits ketujuh:

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al-Kubah, dan Al-Ghubaira.

(HR. Abu Daud No. 3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu ‘Ubaid, Al-Ghubaira adalah minuman keras yang terbuat dari perasan Jagung. Di dalam sanadnya terdapat Al-Walid bin ‘Abdah, Imam Al-Mundziri mengatakan: Walid bin ‘Abdah menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus mengatakan dalam Tarikh Al-Mishriyin bahwa Walid bin ‘Abdah adalah pelayannya Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash, Yazid bin Habib meriwaytkan hadits darinya, dan hadits ini ma’lul – memiliki cacat. Lihat Mukhtashar, 5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 1708)

Hadits kedelapan:

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar No. 7513, Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40661, 40673. Syeikh Al-Albani menghasankan. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al-Haitsami mengatakan: para perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah-nya Imam Dhiya’uddin Al-Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al-Munawi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At-Taisir bi Syarhil Jaami’ Ash-Shaghir, 2/95)

Kata laknat di sini, menunjukkan haramnya hal tersebut dilakukan. Bahkan Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan –seperti yang dikutip Imam Al-Munawi:

بل فيه دلالة على تحريم الغناء فإن المزمار هو نفس صوت الإنسان يسمى مزمارا كما في قوله لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل داود انتهى

Bahkan dalam hadits ini terdapat petunjuk haramnya nyanyian, sebab seruling itu sejenis dengan suara manusia, dan suara tersebut dinamakan dengan seruling sebagaimana dalam sabdanya (tentang suara Abu Musa Al-Asy’ari ketika membaca Alquran, pen), “Engkau telah diberikan seruling di antara seruling-seruling keluarga Daud.” Selesai. (Imam Al-Munawi, Faidhul Qadir, 4/210)

Hadits kesembilan:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ

Lonceng adalah seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra No. 8761)

Celaan ini untuk lonceng, padahal suaranya masih sederhana, apalagi untuk alat musik yang mendayu-dayu dan mempengaruhi hati dan jiwa?

D. Komentar Para Ulama Yang Mengharamkan

Berikut ini adalah komentar para ulama yang mengharamkan musik.

Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau mengatakan:

الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام

“Rebana adalah haram, Al-ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al-Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al-Jazari dari Abu Hasyim Al-Kufi. Syeikh Al-Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal. 92. Cet. 3, 1426H-2005M. Muasasah Ar-Rayyan)

Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘Anhuma

Imam Az-Zaila’i Rahimahullah menceritakan:

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ بَعْضِ النَّاسِ شَيْئًا مِنْ الْمَعَازِفِ فَكَسَرَهُ فِي رَأْسِهِ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Beliau melihat di tangan sebagian orang adanya alat-alat musik, lalu Beliau menghancurkan alat-alat itu di hadapannya. (Tabyinul Haqa-iq, 5/238)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan:

وَرَوَى نَافِعٌ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ: فَوَضَعَ إصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ، هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْت: لَا. قَالَ: فَرَفَعَ إصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْت مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Nafi’ meriwayatkan, katanya: Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suaranya?” Aku menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga, pen).” (Al-Mughni, 10/154)

Namun hadits yang disebut Ibnu Umar tersebut adalah dhaif. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Al-Khalal melalu dua jalur, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, katanya: hadits ini munkar.” (Ibid)

Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu

Imam Al-Auza’i mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Umar bin Al-Walid, di antara bunyi suratnya:

وَإِظْهَارُكَ الْمَعَازِفَ وَالْمَزَامِيرَ بِدْعَةٌ فِي الْإِسْلَامِ

“ … penyebaranmu terhadap alat-alat musik dan seruling, itu adalah bid’ah dalam Islam …” (Imam An-Nasa’i, As-Sunan Al-Kubra No. 4421)

Imam Al-Hasan Al-Bashri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau mengatakan:

ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها

“Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal. 103-104)

Imam Muhammad bin Al-Hasan Rahimahullah

Beliau adalah murid sekaligus kawan Imam Abu Hanifah, katanya:

لَا يَنْعَقِدُ بَيْعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ؛ لِأَنَّهَا آلَاتٌ مُعَدَّةٌ لِلتَّلَهِّي بِهَا مَوْضُوعَةٌ لِلْفِسْقِ، وَالْفَسَادِ فَلَا تَكُونُ أَمْوَالًا فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا

Tidak boleh berkumpul untuk membeli benda-benda ini (alat-alat musik), karena ini alat-alat yang biasanya dipakai untuk melenakan dan merupakan zona kefasikan dan kerusakan, maka janganlah menjadikannya sebagai harta kekayaan, dan tidak boleh melakukan jual-beli barang tersebut. (Imam Al-Kisani, Bada’i Ash-Shana’i, 5/144)

Imam Asy-Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu

Al-Qadhi Abu Thayyib menceritakan:

وحكي عن الشافعي أنه كان يكره الطقطقة بالقضيب ويقول وضعته الزنادقة ليشتغلوا به عن القرآن

Diceritakan dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa Beliau membenci mengetuk-ketuk batang pohon dan mengatakan itu adalah perbuatan orang zindiq yang dengannya orang menjadi lalai dari Alquran. (Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 2/269)

Imam Asy-Syafi’i berkata:

وَلَوْ كَسَرَ لَهُ طُنْبُورًا أَوْ مِزْمَارًا أَوْ كَبَرًا فَإِنْ كَانَ فِي هَذَا شَيْءٌ يَصْلُحُ لِغَيْرِ الْمَلَاهِي فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ الْكَسْرُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أَوْ نَصْرَانِيٌّ أَوْ يَهُودِيٌّ أَوْ مُسْتَأْمَنٌ أَوْ كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذَلِكَ كُلَّهُ

Seandainya seseorang menghancurkan tamburin, seruling, atau gendang, yang jika benda-benda ini difungsikan selain alat musik maka dia mesti membayar ganti rugi, tetapi jika benda-benda ini fungsinya hanyalah sebagai alat musik, maka dia tidak usah mengganti rugi. Demikian pula jika yang menghancurkan adalah seorang Nasrani terhadap milik seorang muslim, atau dilakukan oleh Yahudi, kafir musta’min, atau orang Islam yang menghancurkan milik mereka, maka semua itu adalah batil (tidak usah diganti rugi, pen). (Al-Umm, 4/225)

Imam Asy-Syafi’i menganggap bahwa alat-alat musik yang fungsinya memang hanya untuk musik, maka ketika dihancurkan tidak ada kewajiban ganti rugi, siapa pun pelakunya dan pemiliknya.

Imam Abul Hasan Al-Muhamili Rahimahullah mengatakan tentang sikap madzhab Syafi’i tentang menjual alat musik:

ويُكره بيع الخشب ممن يتخذ الملاهي، مثل: الطُّنبور ، والطّبل وما شابه ذلك، والبيع صحيح؛ لإمكان أن يستعمله في غيره

Hal yang dibenci menjual kayu untuk dijadikan alat musik seperti tamburin, gendang, dan semisalnya. Menjualnya memang sah jika untuk difungsikan selain untuk itu (musik). (Al-Lubab fil Fiqhisy Syafi’i, 1/245)

Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau berkata:

وَفِي الْمِعْرَاجِ الْمَلَاهِي نَوْعَانِ مُحَرَّمٌ وَهُوَ الْآلَاتُ الْمُطْرِبَةُ مِنْ غَيْرِ الْغِنَاءِ كَالْمِزْمَارِ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ عُودٍ أَوْ قَصَبٍ كَالشَّبَّابَةِ أَوْ غَيْرِهِ كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ لِمَا رَوَى أَبُو أُمَامَةَ أَنَّهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – قَالَ «إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ» وَلِأَنَّهُ مُطْرِبٌ مُصِدٌّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالنَّوْعُ الثَّانِي مُبَاحٌ وَهُوَ الدُّفُّ فِي النِّكَاحِ وَفِي مَعْنَاهُ مَا كَانَ مِنْ حَادِثِ سُرُورٍ وَيُكْرَهُ فِي غَيْرِهِ

Tingkatan hukum alat-alat musik ada dua jenis, Pertama. Yang diharamkan yaitu alat-alat musik untuk nyanyian yang dimainkan tanpa lagu seperti seruling, sama saja baik yang terbuat dari kayu atau rotan, seperti klarinet atau alat lainnya seperti kecapi, tamburin, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah mengutusku sebagai rahmat bagi semesta alam dan memerintahkan aku menghancurkan alat-alat musik dan seruling”, karena itu merupakan nyanyian yang dapat menghalangi ingatakn kepada Allah Taala.

Kedua, yang dibolehkan yaitu rebana dalam pernikahan, semakna dengan ini adalah kondisi apa saja berupa peristiwa yang menyenangkan, dan dimakruhkan rebana diluar waktu ini. (Al-Bahru Ar-Ra-iq, 7/88)

Imam Abul Ma’ali Al-Bukhari Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وفي فتاوى أهل سمرقند استماع صوت الملاهي كالضرب بالقصب، وغير ذلك من الملاهي حرام، وقد قال عليه السلام: استماع الملاهي معصية والجلوس عليها فسق والتلذذ بها من الكفر

Dalam Fatawa Ahli Samarqandi disebutkan bahwa mendengarkan suara hiburan seperti memukul rotan dan alat hiburan lainnya adalah haram. Sebagaimana sabda nabi: mendengarkan alat hiburan adalah maksiat, duduk mendengarkannya adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur. (Al-Muhith Al-Burhani, 5/369)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan hadits yang dimaksud ini tidaklah sampai Rasululah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Abu Abdillah Zainuddin Abdul Qadir Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau menuliskan:

اسْتِمَاع الملاهي وَسَمَاع صَوت الملاهي كلهَا حرَام فَإِن سمع بَغْتَة فَهُوَ مَعْذُور ثمَّ يجْتَهد أَن لَا يسمع مهما أمكنه

Mendengarkan secara sengaja alat-alat musik, semuanya adalah haram, sedangkan mendengarkannya secara tidak diduga hal itu dimaafkan, kemudian hendaknya dia bersungguh-sungguh untuk tidak mendengarkannya sebisa mungkin. (Tuhfatul Muluk, Hal. 238)

10. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وَقِيلَ هِيَ جَائِزَةٌ فِي النِّكَاحِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِهَا جَوَازُ كِرَائِهَا وَالرَّاجِحُ أَنَّ الدُّفَّ وَالْكَبَرَ جَائِزَانِ لِعُرْسٍ مَعَ كَرَاهَةِ الْكِرَاءِ، وَأَنَّ الْمَعَازِفَ حَرَامٌ كَالْجَمِيعِ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ فَيَحْرُمُ كِرَاؤُهَا

Dikatakan: boleh dimainkan dalam pernikahan. Pembolehan itu tidaklah lantas boleh juga disewakan. Pendapat yang lebih kuat adalah rebana dan gendang itu boleh dimainkan ketika pesta, namun makruh menyewanya, sesungguhnya semua alat-alat musik haram dimainkan di luar nikah, maka haram juga menyewa di luar nikah. (Hasyiah Ad-Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir, 4/18)

11. Imam Abu Muhammad Al-Qairuwani Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ولا يحل لك أن تتعمد سماع الباطل كله ولا أن تتلذذ بسماع كلام امرأة لا تحل لك ولا سماع شيء من الملاهي والغناء

Tidak dihalalkan bagimu menyengaja mendengarkan kebatilan (kesia-siaan) semuanya, dan jangan pula menikmati suara ucapan perempuan, itu tidak halal bagimu, dan tidak pula halal mendengarkan alat-alat musik dan nyanyian. (Imam Abu Muhammad Al-Qairuwani, Ar-Risalah, Hal. 154)

12. Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ولا يجوز تعمد حضور شيء من اللهو واللعب، ولا من الملاهي المطربة كالطبل والزمر وما كان في معناه

Tidak boleh menyengaja hadir ke tempat hiburan, permainan, dan juga alat-alat musik yang diiringi nyanyian, seperti seruling, dan apa-apa yang semakna. (Al-Muqaddimat, 3/462)

Tapi Beliau juga mengatakan:

ورخص من ذلك في النكاح الدف وهو الغربال باتفاق، والكبر والمزهر على ثلاثة أقوال: إباحتها جميعا، وكراهتهما جميعا، وإباحة الكبر دون المزهر، قيل: للنساء دون الرجال، وقيل: للنساء والرجال. واختلف هل هو من قبيل المباح الذي يستوي فعله وتركه، أو هو من قبيل المباح الذي تركه أحسن من فعله وبالله التوفيق

Diringankan musik pada pernikahan seperti rebana, menurut kesepakatan ulama, ada pun gendang dan kecapi ada tiga pendapat: 1. boleh semua, 2. makruh keduanya, 3. membolehkan gendang, tapi tidak bagi kecapi. Ada yang mengatakan: boleh bagi wanita, laki-laki tidak. Ada yang bilang: boleh bagi wanita dan laki-laki juga. Juga terdapat perbedaan, apakah dari sisi kebolehannya itu sama saja antara memainkan dan meninggalkannya, ataukah meninggalkannya lebih baik dibanding memainkannya. (Ibid)

13. Imam Al-Haramain Asy-Syafi’i Rahimahullah

والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب. وفي اليراع وجهان. ولا يَحْرم ضربُ الدف إذا لم تكن عليه جلاجل، فإن كان، فوجهان. وكان شيخي يقطع بتحريم

Awal dari masalah ini adalah pengharaman atas alat-alat musik, senar, dan semua alat musik, hal itu merupakan tindakan preventif dari dosa-dosa besar. Pada klarinet ada dua pendapat. Tidak diharamkan memukul rebana jika tidak terdapat lonceng, jika ada lonceng, maka ada dua pendapat, sedangkan guruku menilainya itu haram. (Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, 19/22)

14. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

آلَاتُ الْمَلَاهِي كَالْبَرْبَطِ وَالطُّنْبُورِ وَغَيْرِهِمَا، وَكَذَا الصَّنَمُ وَالصَّلِيبُ، لَا يَجِبُ فِي إِبْطَالِهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الِاسْتِعْمَالِ، وَلَا حُرْمَةَ لِتِلْكَ الصَّنْعَةِ

Alat-alat musik seperti tamburin dan lainnya, begitu pula berhala dan salib, tidaklah ada kewajiban ganti rugi apa pun ketika membatalkannya (dalam jual beli, pen), sebab itu adalah benda-benda yang diharamkan untuk dimanfaatkan dan itu bukanlah benda yang terhormat. (Raudhatuth Thalibin, 5/17)

Tegas Imam An-Nawawi mengatakan alat-alat musik adalah benda Al-muharramah (yang diharamkan). Beliau juga mengatakan:

ويكره الغناء بلا آلة وسماعه ويحرم استعمال آلة من شعار الشربة كطنبور وعود وصنج ومزمار عراقي وإسماعها لا يراع في الأصح. قلت: الأصح تحريمه والله أعلم

Dimakruhkan mendengarkan nyanyian yang tanpa alat musik. Diharamkan memainkan dan mendengarkan alat musik yang biasa dipakai sebagai simbol para peminum seperti tamburin, kecapi, shanju, seruling Iraq dan mendengarkannya tanpa yara’. Aku berkata: yang benar yara’ (semacam seruling) adalah haram. Wallahu A’lam . (Minhajuth Thalibin, 1/345)

15. Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

المعازف والأوتار حرَام لِأَنَّهَا تشوق إِلَى الشّرْب وَهُوَ شعار الشّرْب فَحرم التَّشَبُّه بهم وَأما الدُّف إِن لم يكن فِيهِ جلاجل فَهُوَ حَلَال ضرب فِي بَيت رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم

وَإِن كَانَ فِيهِ جلاجل فَوَجْهَانِ وَفِي اليراع وَجْهَان وَالأَصَح أَنه لَا يحرم والمزمار الْعِرَاقِيّ حرَام لِأَنَّهُ عَادَة أهل الشّرْب

Alat-alat musik dan senar adalah haram, sebab hal tersebut dapat membangkitkan seseorang untuk minum (khamr), dan itu merupakan syi’arnya para peminum, dan diharamkan menyerupai mereka. Ada pun rebana jika tidak ada lonceng maka itu boleh, itu pernah dimainkan di rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi jika ada loncengnya maka ada dua pendapat, dan jika memiliki yara’ (semacam seruling) juga ada dua pendapat, dan yang benar adalah tidak diharamkan, sedangkan seruling Iraq adalah haram karena itu biasa dimainkan oleh para peminum khamr. (Al-Wasith fil Madzhab, 7/350)

Kita lihat Imam Al-Ghazali mengharamkan semua alat musik dan yang memiliki senar (gitar, biola, kecapi, ukolele, harpa, dan semisalnya), kecuali untuk rebana, beliau membolehkannya, termasuk rebana yang memiliki lonceng dan yara’ Beliau memilih tidak mengharamkannya, kecuali seruling Iraq. Imam Zakaria Al-Anshari menyebut yara’ adalah Asy-syababah – klarinet.

16. Imam Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

فَأَمَّا الْحَرَامُ: فَالْعُودُ وَالطُّنْبُورُ وَالْمِعْزَفَةُ وَالطَّبْلُ وَالْمِزْمَارُ وَمَا أَلْهَى بِصَوْتٍ مُطْرِبٍ إِذَا انْفَرَدَ

Ada pun musik yang diharamkan adalah kecapi, tamburin, gendang, seruling, dan suara nyanyian apa saja yang melalaikan biar pun sendirian. (Al-Hawi Al-Kabir, 17/191)

17. Imam Ibnu Taimiyah Al-Hambali Rahimahullah

Beliau mengatakan:

فَأَمَّا الْمُشْتَمِلُ عَلَى الشَّبَّابَاتِ وَالدُّفُوفِ المصلصلة فَمَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ تَحْرِيمُهُ.

Ada pun musik yang mencakup klarinet dan rebana maka madzhab imam yang empat mengharamkannya. (Majmu’ Al-Fatawa, 11/535)

18. Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali Rahimahullah

Beliau menegaskan musik ada tiga hukum, haram, mubah, dan makruh, berikut ini rinciannya:

فِي الْمَلَاهِي: وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ؛ مُحَرَّمٌ، وَهُوَ ضَرْبُ الْأَوْتَارِ وَالنَّايَاتُ، وَالْمَزَامِيرُ كُلُّهَا، وَالْعُودُ، وَالطُّنْبُورُ، وَالْمِعْزَفَةُ، وَالرَّبَابُ، وَنَحْوُهَا، فَمَنْ أَدَامَ اسْتِمَاعَهَا، رُدَّتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إذَا ظَهَرَتْ فِي أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً، حَلَّ بِهِمْ الْبَلَاءُ» . فَذَكَرَ مِنْهَا إظْهَارَ الْمَعَازِفِ وَالْمَلَاهِي

Tentang musik, ada tiga jenis: Diharamkan, yaitu memainkan musik yang bersenar, semua jenis seruling, kecapi, tamburin, mi’zafah, rebab, dan semisalnya. Barang siapa yang rutin mendengarkannya maka dia tertolak kesaksiannya. Sebab diriwayatkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “jika muncul pada umatku 15 hal, maka bencana halal bagi mereka,” lalu nabi menyebutkan salah satunya adalah alat-alat musik dan hiburan. (Al-Mughni, 10/153)

Ada pun jenis yang boleh adalah rebana pada saat pernikahan dan hari-hari yang menyenangkan, diluar itu makruh. Katanya:

وَضَرْبٌ مُبَاحٌ؛ وَهُوَ الدُّفُّ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «أَعْلِنُوا النِّكَاحَ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ» . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا، وَأَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ مَكْرُوهٌ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ إذَا سَمِعَ صَوْتَ الدُّفِّ، بَعَثَ فَنَظَرَ، فَإِنْ كَانَ فِي وَلِيمَةٍ سَكَتَ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِهَا، عَمَدَ بِالدُّرَّةِ. وَلَنَا، مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْهُ، فَقَالَتْ: إنِّي نَذَرْت إنْ رَجَعْت مِنْ سَفَرِك سَالِمًا، أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِك بِالدُّفِّ. فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَوْفِ بِنَذْرِك» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد

وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَمْ يَأْمُرْهَا بِهِ وَإِنْ كَانَ مَنْذُورًا. وَرَوَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: «دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَبِيحَةَ بُنِيَ بِي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَّاتٌ يَضْرِبْنَ بِدُفٍّ لَهُنَّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مَنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إلَى أَنْ قَالَتْ إحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: دَعِي هَذَا، وَقُولِي الَّذِي كُنْت تَقُولِينَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Jenis yang mubah adalah, memukul rebana, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Beritakanlah pernikahan dan pukullah rebana.” (HR. Muslim). Sahabat-sahabat kami (Hambaliyah), dan sahabat-sahabat Syafi’i (Syafi’iyah) menyebutkan bahwa rebana makruh jika diselain pernikahan, sebab diriwayatkan dari Umar bahwa jika dia mendengar suara rebana maka dia bangun dan memandanginya, tapi jika itu terjadi dalam pesta maka Beliau diam. Bagi kami, apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang wanita datang kepadanya dan berkata: Saya bernadzar jika engkau (nabi) pulang dari safar dalam keadaan selamat saya akan memainkan rebana dihadapanmu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Penuhi nadzarmu.” (HR. Abu Daud)

Seandainya itu (memukul rebana, pen) makruh tentu nabi tidak akan memerintahkannya untuk memukulnya, walaupun itu dalam bentuk nadzar. Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumahku pada pagi hari, maka ada dua budak wanita yang memukul-mukul rebana, lalu menyenandungkan lagu tentang peristiwa ayah-ayah kami saat perang Badar, sampai salah satu di antara mereka berkata: di tengah kita hadir seorang nabi yang mengetahui hari esok. Rasulullah bersabda, “Tinggalkan kata-kata itu, katakanlah yang lainnya yang ingin kau katakan.” (Ibid)

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan musik yang makruh, yaitu jika dimainkan oleh kaum laki-laki, sebab itu merupakan penyerupaan terhadap wanita dan banci. Menurutnya, kaum wanitalah yang memainkan rebana sebagaimana riwayat-riwayat yang ada, bukan kaum laki-laki.

Berikut ini penjelasannya:

أَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ فَمَكْرُوهٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا كَانَ يَضْرِبُ بِهِ النِّسَاءُ، وَالْمُخَنَّثُونَ الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ، فَفِي ضَرْبِ الرِّجَالِ بِهِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ، وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ. فَأَمَّا الضَّرْبُ بِالْقَضِيبِ، فَمَكْرُوهِ إذَا انْضَمَّ إلَيْهِ مُحَرَّمٌ أَوْ مَكْرُوهٌ، كَالتَّصْفِيقِ وَالْغِنَاءِ وَالرَّقْصِ، وَإِنْ خَلَا عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ لَمْ يُكْرَهْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِآلَةٍ وَلَا بِطَرِبٍ، وَلَا يُسْمَعُ مُنْفَرِدًا

Ada pun laki-laki memukul rebana, itu makruh dalam segala keadaan. Karena dahulu itu dimainkan oleh kaum wanita. Itu merupakan kebancian dan peniruan terhadap kaum wanita.Maka, laki-laki yang memainkan rebana itu adalah tasyabbuh terhadap wanita. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita.

Sedangkan memukul batang pohon makruhnya jika dibarengi hal-hal yang haram seperti tepul tangan, menyanyi, dan menari. Jika tidak dibarengi itu, tidak makruh sebab itu bukan alat musik dan tidak bisa didengar secara sendiri. (Ibid, 10/155)

19. Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syeikh Al-Hambali Rahimahullah

Beliau menyatakan keharaman berobat dengan mendengarkan alat-alat musik. Berikut ini keterangannya:

(ويحرم) التداوي، (بمحرم أكلاً وشرباً، وصوت ملهاة) يحرم أن يشرب حراماً تداويا به، أو يأكل حراماً تداوياً به، أو يتداوى بصوت ملهاة: مثل الطبل، أو دف، أو مزمار، أو غير ذلك من الملاهي الكثيرة؛ فهو منهي عنه

(Diharamkan) berobat (dengan yang haram baik makanan atau minuman dan suara hiburan) diharamkan menggunakan minuman haram sebagai obat, atau memakan makanan haram sebagai obat, atau berobat dengan suara hiburan seperti: gendang, rebana, seruling, atau alat musik lainnya yang begitu banyak, maka hal itu terlarang. (selesai kutipan dari Syeikh Ibrahim)

Kemudian Beliau mengutip surat Luqman ayat 6 (Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan), lalu memberikan penjelasan:

فدخل في ذلك الملاهي كلها، فيحرم حضورها فهي من جملة المحرمات التي ليس فيها شفاء، بل كثير من المحرمات تزيد الداء داء

Maka, yang termasuk lahwul hadits adalah semua alat-alat hiburan, diharamkan menghadirkannya sebab secara global itu adalah termasuk keumuman hal-hal yang diharamkan, itu bukan obat bahkan banyak melakukan perkara-perkara yang diharamkan justru menambah penyakit. (Syarh Kitab Adab Al-Musyi, Hal. 169)

E. Kesimpulan Terhadap Pihak Yang Mengharamkan

Demikianlah deretan imam kaum muslimin yang nama-nama mereka telah menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Nama-nama ini sudah cukup mewakili ulama lain yang sepaham dengan mereka, dan nama-nama ini masih sebagian kecil saja, mungkin masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan ulama yang mengharamkannya.

Dari berbagai komentar mereka, maka pada posisi yang mengharamkan bisa kita simpulkan sebagai berikut:

Semua alat musik pada dasarnya haram baik alat musik tiup, pukul, gesek, dan sebagainya. Semisal seruling dan beragam jenisnya, gendang, kecapi, gitar, dan sebagainya.Dikecualikan rebana dalam pesta pernikahan, hari raya, dan suasana gembira seperti pulang dari peperangan dan bepergian, selain momen itu makruh, ada pula yang mengharamkan. Ada pun Imam Al-Ghazali membolehkan rebana yang memiliki lonceng, bahkan klarinet. Namun dalam hal ini Beliau dikoreksi oleh yang lainnya seperti Imam An-Nawawi.Pembolehan terhadap rebana hanya bagi wanita, ada pun bagi laki-laki makruh sebab itu menyerupai wanita dan banci.Musik-musik yang biasa dimainkan ahli maksiat juga haram, bahkan Imam Al-Ghazali dan para ulama yang membolehkan musik juga mengharamkan ini.Mendengarkan secara sengaja adalah maksiat bahkan fasik menurut sebagian mereka, dan hanyut dalam musik adalah kufur.Para penikmat musik tertolak kesaksiannya.

Demikian. Wallahu a’lam

[1] Lima koreksi Imam Ibnul Qayyim atas Imam Ibnu Hazm tersebut adalah:

Bahwasanya Imam Bukhari telah berjumpa dengan Hisyam bin Ammar, dan mendengarkan hadits ini darinya. Jika Imam Bukhari mengucapkan, “Berkata Hisyam (Qaala Hisyam) ” itu sama halnya dengan ucapannya, “Dari Hisyam (‘An Hisyam).”Kalaupun Imam Bukhari tidak mendengarkan langsung dari Hisyam maka memang tidak boleh memastikan darinya, tetapi yang benar adalah bahwa Beliau mendengarkan hadits ini darinya. Hal ini ditunjukkan begitu banyaknya riwayat yang berasal darinya (Hisyam), dan dia adalah seorang Syeikh (guru) yang begitu tenar. Sedangkan Imam Bukhari merupakan hamba Allah yang sangat jauh dari sikap tadlis (suka menggelapkan sanad dan matan hadits).Imam Bukhari memasukan hadits ini dalam kitab Shahih-nya, dan ini sebagai hujjah bahwa seandainya tidak shahih maka Beliau tidak akan mencantumkan di dalamnya.Hadits ini oleh Imam Bukhari diriwayatkan secara mu’allaq namun dengan bentuk kata jazm (pasti dan tegas yaitu qaala –telah berkata, pen) bukan dengan bentuk kata tamridh (adanya cacat). Biasanya Imam Bukhari jika belum memutuskan sebuah hadits shahih atau tidak atau menurutnya hadits itu tidak sesuai standar yang dia tetapkan, maka dia akan menggunakan kata: Yurwa ‘an Rasulillah (diriwayatkan dari Rasulullah), yudzkaru ‘anhu (disebutkan darinya), dan semisalnya. Ada pun jika Beliau mengatakan, “Qaala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ..” maka Beliau telah memastikan bahwa hadits tersebut benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.Seandainya alasan-alasan yang kami (Ibnul Qayyim) sampaikan di atas sama sekali tidak berpengaruh, maka cukuplah kami katakan bahawa hadits ini shahih dan bersabung sanadnya karena dikuatkan oleh berbagai riwayat lainnya. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)

Tentang Farid Nu’man Hasan

Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 – 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/11/04/59400/halal-dan-haram-tentang-musik-bag-1/#ixzz3I4bSgVRv